
Kalau hidup ini game survival, maka dua musuh utama orang Indonesia adalah: tilang polisi dan pertanyaan kapan nikah. Bedanya, tilang itu urusannya di jalan raya. Pertanyaan “kapan nikah”? Itu bisa muncul di mana aja. Lagi makan, lagi ngopi, bahkan lagi nyiram tanaman.
Sialnya, kalau ditilang polisi, paling mentok dompet yang terkuras. Tapi kalau ditanya kapan nikah, harga diri bisa ikut tumbang.
Mari kita bahas dari sisi teknis.
Kalau polisi nyetop kamu:
“Selamat siang, boleh lihat SIM dan STNK?”
Jantung deg-degan. Tapi kamu masih bisa ngeles:
“Wah, pak, tadi STNK-nya saya taruh di… eh… ya udah tilang aja deh, pak.”
Selesai.
Tapi kalau tante-tante di acara keluarga nyamperin kamu:
“Nak, itu lho temen mainmu waktu kecil udah punya anak dua. Kamu kapan nyusul?”
Kamu nggak bisa jawab:
“Maaf, Bu, STNK saya ketinggalan.”
Nggak nyambung.
Dan yang lebih menyeramkan: pertanyaan ini nggak pernah datang sendiri. Biasanya dia bawa temen:
“Jangan milih-milih, nanti keburu expired.”
“Tuh, si A padahal mukanya pas-pasan, tapi laku.”
“Kamu nunggu apa sih? Uang dulu? Karier dulu? Cinta dulu? Lah emangnya hidup bisa nunggu semuanya pas?”
Terkapar. Lunglai. Butuh teh manis anget tiga gelas buat pulih.
Ironisnya, di negeri ini, nanya “kapan nikah?” dianggap basa-basi yang ramah. Padahal itu setara nanya: “Kapan kamu bisa memenuhi ekspektasi sosial kami semua, biar kami puas dan bisa tidur tenang?”
Lah, giliran kita nanya balik:
“Kalau nikah ternyata nggak bikin bahagia, gimana, Bu?”
Langsung dibilang durhaka.
Maka dari itu, banyak yang lebih milih nerobos lampu merah daripada nerobos obrolan keluarga.
Karena ditilang itu urusan satu pasal.
Tapi ditanya kapan nikah?
Itu urusan batin, eksistensi, dan… timeline hidup yang belum jelas arahnya ke mana.
Penulis: Raka Mahendra Hobi: ngopi sambil mantengin komentar netizen di TikTok