
Sebagai warga netral di Final Liga Champions tahun ini, posisi saya sungguh tenteram. Damai. Bukan karena saya bijak. Tapi karena jagoan saya—Barcelona—sudah pulang duluan kayak anak kos yang kehabisan uang kiriman tanggal 17.
Dulu sih saya fans berat Barcelona. Jaman masih ada Messi. Tapi sejak Messi pindah, saya memilih jadi netral. Netral yang penuh luka, tentu saja (masih tetap visca barca, tapi tidak kayak dulu).
Lalu datanglah momen final ini, ketika dua temen saya sebut saja, si Bowo (fans PSG garis keras) dan sebut saja si Jalu (fans Inter Milan ideologis), bertemu. Bukan di medan perang, tapi di grup WhatsApp. Kalau dulu yang ribut di grup itu cuma bahas utang atau jam gacor judol, sekarang berubah jadi medan cakar-cakaran virtual.
Bowo bilang PSG akan menang karena “pemainnya cakep-cakep.” Sementara Jalu bales, “Kalo soal cakep, mending nonton drama Korea. Final UCL itu soal sejarah dan kedalaman taktik.” Saya jadi bingung, ini diskusi bola atau debat Pilkada?
Sebagai netralis tulen, saya hanya mengamati dari kejauhan, sambil sesekali melemparkan komentar, “PSG mah jago beli pemain doang, kayak emak-emak belanja di Shopee tapi nggak pernah dipakai.” dan, “Inter itu nostalgia FC, masih hidup di bayang-bayang 2010.” Dan benar saja, dua-duanya tersinggung. Sungguh luar biasa, jadi netral tapi tetap bisa bikin orang emosi. Power saya sudah seperti admin akun gosip.
Tapi jujur, jadi netral di final Liga Champions itu rasanya kayak nonton sinetron tanpa perlu sebel sama siapa-siapa. Nggak ada beban batin. Mau gol siapa pun, tinggal teriak, “WOOHOO!” Nggak perlu banting remot atau nyalahin wasit kayak fans bola yang baru ditinggal pacar.
Saya pun menyadari, kadang yang bikin sepak bola capek bukan cuma intensitas permainannya, tapi juga fans-fansnya. Fans yang tiap kali klubnya kalah, nyalahin semuanya: dari wasit, pelatih, sampai tukang cuci jersey. Nggak percaya? Coba buka Twitter pas tim besar kalah. Lebih serem dari komentar netizen pas ada publik figur ketahuan selingkuh.
Dan saya juga sadar, jadi netralis itu kadang lebih waras. Kita bisa menikmati pertandingan tanpa embel-embel baper. Tanpa taruhan martabat. Tanpa perlu upload foto profil pemain dengan caption, “Till the end.”
Saya pun mulai merenung. Mungkin ini yang disebut kebijaksanaan suporter tua. Dulu waktu muda, tiap Barcelona kalah saya bisa bad mood dua hari. Tapi sekarang? Klub saya kalah? Ya sudah. Yang penting warung dekat rumah jangan tutup sebelum jam 12.
Melihat Bowo dan Jalu debat soal taktik, statistik, dan “DNA klub,” saya cuma bisa senyum simpul. Karena pada akhirnya, siapapun yang menang, kita tetap orang Indonesia yang Senin paginya harus kerja. Mau PSG atau Inter yang angkat piala, cicilan Paylater tetap berjalan seperti biasa.
Final Liga Champions itu memang penting. Tapi hidup lebih penting. Dan kadang, netral bukan berarti tidak peduli. Tapi bentuk self-care: menjaga kewarasan, menjaga hati, dan menjaga kuota internet.
Penulis: Rudi Nugroho Pekerja kantoran yang percaya kalau taktik Guardiola lebih penting dari RUU APBN
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan kiriman dari penulis atau pembaca Kutipan. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Kutipan telah menyunting seperlunya agar sesuai dengan gaya khas media.