
Kalau kamu tumbuh besar di era 2000-an, kemungkinan besar kamu tahu lirik “Malam ini… ku takkan datang…” lebih hafal daripada rumus luas trapesium. Lagu “Sephia” dari Sheila On 7 ini semacam lagu wajib yang diputar di radio pas kamu lagi galau, ditinggal mantan, atau baru tahu pacarmu ternyata punya pacar lain yang bukan kamu. Plot twist-nya: kamulah si “Sephia”.
Saya nggak tahu siapa yang nulis lirik lagu ini—walaupun kita semua tahu itu Eross Candra—tapi yang jelas, ini bukan lagu cinta biasa. Ini lagu sedih. Tapi bukan sedih yang bikin kamu pengen nangis sambil makan mi instan dan nonton ulang drama Korea. Ini sedih yang… sinis. Kayak, “Iya, kamu penting, tapi ya udah, jangan berharap lebih.”
Lagu ini tuh kayak surat cinta… buat orang ketiga. Dan anehnya, kita semua nyanyiinnya dengan penuh semangat. Bahkan sampai masuk ringtone polifonik zaman Nokia, jadi backsound kafe dengan lighting remang-remang, sampai jadi backsound TikTok sekarang. Hadeh, Sephia nggak pernah benar-benar pergi, ya?
Saya punya teman, sebut saja namanya Bunga (karena kalau saya sebut nama aslinya nanti saya diblock dari WhatsApp-nya). Bunga ini pernah jadi “Sephia” beneran. Katanya sih, dia nggak tahu cowoknya udah punya pacar. Tapi waktu dia tahu, bukannya langsung mundur, dia malah makin cinta. Katanya, “Aku nggak masalah jadi tempat pulang kedua.” Hah? Ini cinta atau rumah subsidi?
Dan hebatnya, setiap dia cerita kisah cintanya itu, lagu Sephia selalu jadi soundtrack-nya. Kadang diputar beneran, kadang cuma dibisikkan dalam hati pas lagi ngelamun di teras rumah. Lagu ini jadi semacam pelukan hangat bagi mereka yang diparkir di zona abu-abu—yang nggak diakui tapi diminta tetap setia.
Sheila On 7 tuh, kayak tahu cara mengemas kisah tragis jadi puitis. Kayak Dilan tapi versi patah hati dewasa.
Tapi yuk kita telaah lebih dalam. Kenapa sih lagu ini masih relevan sampai sekarang?
Pertama, karena selingkuh tuh kayak sinetron Indosiar—nggak habis-habis. Meskipun kamu udah bilang “aku cukup satu” di caption prewedding-mu, tetap saja yang satu itu ternyata bukan kamu.
Kedua, lagu ini punya tone yang ambigu. Musiknya manis, mellow, ada nuansa jazzy-nya sedikit, padahal isinya toxic banget. Kalau kamu dengar baik-baik, ini bukan lagu romantis. Ini kayak surat pengunduran diri dari hubungan tanpa status.
“Sephia, malam ini ku takkan datang…” — kayaknya tuh lirik paling sopan buat ghosting.
Lagu ini juga jadi semacam pengingat bahwa nggak semua cinta layak diperjuangkan. Kadang yang kamu perjuangkan ternyata lagi pelukan sama orang lain di story close friend. Dan kamu? Cuma dibalas “wkwk” pas ngechat jam dua pagi.
Saya pribadi sih, pernah ada di posisi hampir jadi “Sephia”. Hampir. Untungnya saya lebih cepat sadar. Waktu dia bilang, “Aku belum siap komitmen,” saya langsung sadar, “Oh, berarti aku cadangan ban.”
Kisah Sephia ini tuh kayak peringatan. Bahwa cinta itu bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang posisi. Kamu bisa cinta mati, tapi kalau kamu bukan prioritas, ya… kamu cuma tamu musiman.
Tapi herannya, lagu ini tetap enak didengar. Meskipun liriknya pedih, kita tetap goyang pelan sambil senyum-senyum getir. Mungkin itu kekuatan Sheila On 7. Mereka membuat kesedihan terasa estetik. Seolah-olah patah hati itu adalah bagian dari perjalanan spiritual. Padahal sih, kamu cuma lagi nungguin chat balasan dari seseorang yang lagi nge-date sama pacarnya yang asli.
Jadi kesimpulannya? “Sephia” itu lagu nasional para selingkuhan. Dan kayaknya, selama manusia masih punya hasrat buat punya “cadangan”, lagu ini akan tetap abadi. Mungkin nanti pas saya nikah dan punya anak, saya bakal bilang, “Nak, ini lagu zaman Bapak galau. Dengarkan dan pelajari, biar kamu nggak jadi Sephia seperti Bapak dulu.”
Penulis: Arjuna Wiryo
Pecinta kopi manis hangat, hobi ngamatin hubungan orang lain yang lebih rumit dari hidupnya sendiri.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan kiriman dari penulis atau pembaca Kutipan. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Kutipan telah menyunting seperlunya agar sesuai dengan gaya khas media.