
KUTIPAN – Dalam dunia kerja, disiplin itu ibarat kunci motor. Nggak ada kunci, ya motornya nggak bisa jalan. Tapi ternyata, di salah satu sudut Nusantara yang tenang dan damai bernama Lingga, ada juga yang jalan terus walau bolos kerja. Bukan motor, tapi gaji.
BKPSDM Lingga—lembaga yang bertugas ngawasin para ASN biar nggak keluyuran di jam kerja—baru-baru ini buka suara. Katanya, ada puluhan ASN yang absen kerja tanpa alasan yang jelas selama Februari 2025. Bukan cuma sekali dua kali, tapi kayak cicilan motor, rutin tiap bulan.
“Setiap bulan kami rekap kehadiran. Dan memang, selalu ada yang tidak masuk. Bulan Februari ini, jumlahnya cukup signifikan,” kata Budi Setiawan, S.Kep., Kepala Bidang Pembinaan Kinerja Aparatur dan Penghargaan BKPSDM, Selasa (22/4/2025).
Dengerin kutipan ini bikin mikir, jangan-jangan yang disebut “pegawai negeri” itu udah ganti makna jadi “pegawai ngilang negeri”.
Masalahnya, ini bukan fenomena langka atau kejadian baru. Kata Budi, beberapa OPD udah mulai gerah dan ngambil langkah pembinaan. Bahkan, ada dua ASN di tingkat kecamatan yang udah diproses pelanggaran berat, dan satu di tingkat OPD juga lagi digarap. Serius banget, sampai level ultimate punishment.
“Kami telah identifikasi satu kasus yang mengarah pada sanksi berat. Koordinasi sudah dilakukan dengan pimpinan daerah. Jika terbukti melakukan pelanggaran fatal, akan diproses sesuai dengan aturan, sanksinya bisa berupa pemberhentian tidak hormat,” lanjutnya.
Nah, ini yang patut diacungi jempol. Karena kalau udah bolos 11 hari lebih, itu udah bukan bolos biasa. Itu namanya ritual menghilang dari realitas kerja.
BKPSDM pegang teguh aturan: PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS dan Perka BKN Nomor 6 Tahun 2022. Di aturan itu, pelanggaran disiplin udah diatur kayak bab-bab sinetron:
-
Bolos 3 hari? Dapet teguran lisan.
-
Bolos 6 hari? Teguran tertulis.
-
Bolos 11 hari lebih? Nah, itu udah masuk level “boss fight”, bisa jadi sanksi sedang atau berat.
“Tiga hari bolos, teguran. Enam hari, teguran tertulis. Tapi kalau sampai 11 hari atau lebih? Itu sudah disiplin sedang bahkan berat,” kata Budi dengan nada tegas, mungkin sambil membatin, “Kerja, woy!”
Pertanyaannya, kok bisa ya? Kalau absen tiga hari aja udah kena teguran, berarti yang bolos sampe 11 hari itu udah kayak liburan semester. Gimana mereka bisa lolos tiap bulannya? Apa absennya disamarkan jadi “tur kerja ke dimensi paralel”?
Kadang suka curiga, jangan-jangan ada ASN yang kerjaannya bolos, dan bolosnya dianggap kerja. Siapa tahu kan? Bisa aja bikin laporan: “Hari ini observasi langit-langit rumah, karena kerja dari rumah tapi rumahnya lagi direnovasi.”
Tentu aja, ini nggak bisa dijadikan pembenaran. Tapi absurditas ini bikin mikir. ASN itu digaji dari pajak rakyat. Kalau bolosnya rutin, lalu pekerjaannya siapa yang handle? Apakah diganti chatbot? Atau sistemnya udah diatur auto-pilot?
Dan satu hal lagi yang bikin geleng-geleng: ini terjadi bukan karena sistemnya nggak ada. Aturannya jelas, prosedurnya lengkap, sanksinya pun tersedia. Tapi tetep aja, masih ada yang nekat.
Mungkin memang harus ada pendekatan baru: misalnya, detektor sidik jari yang bisa deteksi “niat kerja”. Atau kursi kantor yang otomatis ngasih teguran kalau penghuninya absen seminggu. Kalau perlu, pakai sistem loyalty point kayak ojek online: makin rajin masuk, makin banyak poin bisa ditukar pulsa.
Yah, harapannya, kasus ini jadi refleksi bersama. Karena ASN itu bukan cuma jabatan, tapi amanah. Kalau nggak disiplin, ya sebaiknya dikembalikan saja ke alam bebas, biar lebih leluasa bolos tanpa tekanan sosial.
Kalau ada yang bilang, “ASN juga manusia, bisa capek,” tentu saja benar. Tapi ya masa capeknya rutin tanggal 1 sampai 11 setiap bulan?
Tulisan ini masuk dalam rubrik Suara/Cerita Kutipan, editorial redaksi dengan gaya media kutipan. Kalau mau kirim tulisan bisa kirim ke penuliskutipandotco@gmail.com