
Setiap kali 17 Agustus datang, kita semua tahu ritual wajibnya. Bendera Merah Putih dikibarkan dengan gagah, suara pekik “Merdeka!” menggema, dan suasana nasionalis meletup sampai bikin merinding.
Tapi, begitu upacara bubar dan lagu kebangsaan berhenti, realita menghantam lebih keras daripada bedug Maghrib di bulan Ramadan: dompet rakyat masih tipis, utang warung belum terbayar, dan harga cabai tetap sukses bikin dada sesak.
Kemerdekaan ini memang meriah di permukaan. Umbul-umbul menghiasi jalan, lomba makan kerupuk bikin heboh anak-anak, panjat pinang mengundang sorak sorai.
Tapi, kalau ditanya “apa rakyat sudah benar-benar merdeka?”, jawabannya masih harus diucapkan dengan senyum getir. Sebab banyak orang hanya merdeka secara simbolik, belum merdeka secara isi dompet.
Merdeka Simbolik vs Merdeka Ekonomi
Kibarkan bendera itu gampang, tinggal beli di pasar atau pinjam dari tetangga. Tapi mengibarkan isi dompet biar bisa tegak? Itu yang sulit. Rakyat masih harus jungkir balik dengan harga sembako, cicilan paylater, sampai biaya sekolah anak yang terus naik.
Dulu perjuangan melawan penjajah butuh darah dan keringat, sekarang perjuangan melawan inflasi butuh doa dan diskon flash sale. Kemerdekaan kita kadang terasa hanya di spanduk dan baliho, bukan di dapur dan dompet.
Lomba 17 Agustus vs Lomba Sehari-hari
Kita suka bilang “lomba rakyat” bagian dari perayaan kemerdekaan. Padahal, hidup rakyat sehari-hari itu juga lomba tanpa hadiah.
Dulu lomba panjat pinang rebutan hadiah sabun.
Sekarang panjat gaji UMR demi bertahan hidup.
Dulu lomba balap karung bikin ketawa.
Sekarang balap bayar cicilan bikin nangis.
Rasanya, bangsa ini memang tak pernah berhenti lomba. Bedanya, yang dulu seru-seruan, yang sekarang bikin kepala pening.
Ironi Pekik “Merdeka!”
Ironi terbesar justru ada di balik teriakan “merdeka!”. Di atas kertas, kita bebas. Tapi di lapangan, masih banyak orang yang terikat cicilan motor, sewa rumah, sampai utang kartu kredit.
Merdeka itu katanya bebas dari belenggu. Tapi kenapa belenggu utang makin erat? Merdeka itu katanya tentang kebebasan. Tapi kenapa harga sembako bebas naik semaunya?
Jadi, tiap tahun bendera Merah Putih tetap berkibar gagah. Tapi dompet rakyat? Tetap kempes, macam perut ayam kurus di musim kemarau.
Mungkin, kemerdekaan sejati itu bukan hanya ketika bendera bisa berkibar setinggi langit, tapi juga ketika isi dompet rakyat tak lagi malu kalau ditanya, “berapa saldo e-wallet sekarang?” Karena selama rakyat masih harus menunduk saat buka dompet, berarti kemerdekaan itu masih setengah jalan.
Cik Lela