
KUTIPAN – Ada-ada saja akal manusia buat cari jalan pintas. Di tengah hiruk-pikuk pasar yang seharusnya jadi tempat orang mengadu nasib, dua orang—yang ternyata ayah dan anak—malah menjadikannya ladang pungutan liar (pungli) bermodus retribusi. Mereka akhirnya diringkus Satreskrim Polresta Bandar Lampung dalam operasi yang bukan kaleng-kaleng: Operasi Pekat Krakatau 2025.
Keduanya berinisial S dan D, warga Kecamatan Bumi Waras, Bandar Lampung. Operasi ini bagian dari langkah serius Polda Lampung untuk mensterilkan ruang publik dari praktik premanisme, entah yang terang-terangan atau yang berkedok macam-macam alasan.
“Premanisme dengan modus apa pun tidak akan kami toleransi. Pasar adalah ruang publik tempat masyarakat mencari nafkah, bukan ladang pungli. Kami akan tindak tegas siapa pun pelakunya,” tegas Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Pol Yuni Iswandari Yuyun, Selasa (13/5/2025).
Simpelnya begini, pasar itu tempat jual beli, bukan tempat jual alasan buat narik uang rakyat kecil. Dan dua orang ini, dengan entengnya memungut Rp7.500 dari sekitar 100 kios tiap hari, mengaku untuk bayar listrik dan kebersihan pasar. Padahal? Kerja sama mereka dengan Pemkot sudah diputus sejak Februari 2025.
Menurut AKP Dhedi Ardi Putra, Kasatreskrim Polresta Bandar Lampung, kelakuan mereka terbongkar berkat laporan warga yang sudah gerah tapi tetap sabar cukup lama. Dari tangan dua pelaku, polisi menyita uang tunai Rp488 ribu. Cukup buat beli beberapa porsi pecel lele, tapi sama sekali tidak sebanding dengan kerugian rasa aman yang dirampas dari pedagang.
Kalau dipikir-pikir, kok ya tega banget. Sudah jelas tidak ada wewenang, masih juga berani pungut uang rakyat kecil. Dalihnya “demi listrik” dan “kebersihan” terdengar masuk akal kalau belum tahu fakta sebenarnya. Begitu tahu? Ya jelas, rasanya seperti makan gorengan yang isiannya cuma angin.
Yuyun juga menambahkan, tindakan ini bukan cuma soal uang receh yang dikumpulkan tiap hari, melainkan soal mempermalukan pelayanan publik dan memberatkan masyarakat kecil yang penghasilannya pas-pasan.
“Kami harap masyarakat aktif melaporkan bila ada tindakan serupa di lingkungan mereka. Ini adalah bentuk keberanian bersama untuk melawan premanisme,” imbuh Yuyun.
Saat ini, S dan D diperiksa intensif. Polisi pun sedang membongkar lebih jauh, siapa tahu ada dalang atau jaringan lain di balik aksi ilegal ini. Karena, di dunia ini, jarang ada “pemain tunggal” dalam urusan seperti ini. Semua pihak terkait bakal diusut tuntas.
Sebagai penutup, kedua pelaku dijerat Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, dengan ancaman pidana maksimal 9 tahun penjara. Lumayan panjang untuk merenung dan mikir: apakah pungli receh itu sepadan dengan kehilangan sembilan tahun hidup di balik jeruji?
Untuk informasi beragam lainnya ikuti kami di medsos:
https://www.facebook.com/linggapikiranrakyat/
atau https://www.facebook.com/kutipan.dotco/
Editor: Dito Artikel ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan, tanpa mengurangi substansi informasi.