
Seolah ingin menegaskan bahwa hukum di negeri ini juga punya hati nurani, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) resmi mengumumkan penangguhan penahanan terhadap SSS, seorang mahasiswi yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyebaran dokumen elektronik bermuatan pelanggaran kesusilaan dan manipulasi data otentik di media sosial X.
Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, menyampaikan kabar ini dalam sebuah doorstop pada Minggu malam, 11 Mei 2025. Suasana mungkin mendung, tapi kalimat Trunoyudo cukup terang:
“Penangguhan penahanan ini diberikan oleh penyidik tentunya mendasari permohonan dari tersangka melalui penasihat hukumnya serta dari orang tuanya, juga berdasarkan atas itikad niat baik dari tersangka dan keluarganya untuk memohon maaf karena telah terjadi kegaduhan,” ujarnya.
SSS ditetapkan sebagai tersangka setelah Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menerima laporan polisi Nomor LP/B/159/III/2025/SPKT Bareskrim Polri, bertanggal 24 Maret 2025. Ia ditangkap pada 6 Mei 2025 dan langsung ditahan keesokan harinya.
Proses hukum ini pun berlangsung cepat. Polisi memeriksa tiga saksi, lima ahli, dan mengantongi sejumlah barang bukti, yang kemudian dikunyah lewat forensik digital. Hasilnya? Cukup kuat untuk menjerat SSS sebagai tersangka dan membawa kasus ini ke jalur pidana.
Tapi cerita tidak berhenti di situ. Di tengah semua formalitas hukum, ada ruang kecil bernama kemanusiaan. Penyidik Polri memutuskan untuk mengabulkan permohonan penangguhan penahanan. Pertimbangannya bukan hanya karena surat permohonan keluarga dan penasihat hukum, melainkan juga melihat masa depan si mahasiswi yang bisa terancam rusak gara-gara satu kesalahan.
“Penangguhan penahanan ini juga diberikan tentu mendasari pada aspek atau pendekatan kemanusiaan dan memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk melanjutkan perkuliahannya,” lanjut Trunoyudo.
Menariknya, sebelum permohonan itu dikabulkan, SSS bersama tim kuasa hukum dan keluarga juga sempat mengajukan permintaan maaf terbuka. Bukan main-main, karena permintaan maaf itu ditujukan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto, Presiden Ke-7 Joko Widodo, dan pihak Institut Teknologi Bandung (ITB) yang ikut terseret dalam drama dunia maya ini.
Kalau mau berpikir jernih, kasus ini jadi contoh peliknya persimpangan antara dunia maya yang semakin liar dengan hukum dunia nyata yang masih belajar mengejar kecepatan netizen. Di satu sisi, pelanggaran harus tetap dihukum. Tapi di sisi lain, pendekatan manusiawi tetap perlu, apalagi menyangkut masa depan seorang mahasiswa yang—siapa tahu—bisa berubah jadi agen perubahan, bukan agen kegaduhan lagi.
Kasus ini juga mengajarkan bahwa “satu klik” di dunia maya bisa berbuntut panjang di dunia nyata. Maka, logis rasanya bila belajar bertanggung jawab atas apa yang diunggah jauh lebih penting daripada sekadar belajar trending.
Untuk informasi beragam lainnya ikuti kami di medsos: https://www.facebook.com/linggapikiranrakyat/ atau https://www.facebook.com/kutipan.dotco/
Editor: Fikri Artikel ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan, tanpa mengurangi substansi informasi.