
Oleh: Yuanda Editor: Fikri
UMKM kita mandeg bukan karena malas, tapi karena programnya lebih sering seremoni daripada solusi. Pendampingan? Sebatas formalitas.
Pernahkah kita bayangkan kalau puluhan juta pelaku Usaha Mikro di Indonesia tiba-tiba serempak keluar rumah, turun ke jalan, dan menuntut negara memberikan mereka pekerjaan?
Kelihatannya seperti adegan fiksi distopia. Tapi sebenarnya, ini sindiran serius: bagaimana kalau pelaku UMKM, yang selama ini digadang-gadang sebagai tulang punggung ekonomi rakyat, ternyata tidak benar-benar diperlakukan sebagai bagian penting pembangunan?
Pertanyaan ini datang dari keresahan yang nyata. Banyak program pemberdayaan UMKM yang kelihatannya semarak, penuh spanduk, bahkan dihadiri pejabat. Tapi setelah itu? Sunyi. Tidak ada kelanjutan. Tidak ada pendampingan yang benar-benar “nempel” ke pelaku usahanya.
“Salah satu aspirasi yang sering kami terima dari pelaku UMKM adalah tingginya permintaan untuk mendapatkan pendampingan terstruktur dan berkelanjutan, yang tidak berhenti di satu kegiatan seremonial saja, tanpa kelanjutan apa-apa setelah itu.”
Dan memang begitulah pola yang jamak terjadi. Banyak pelaku UMKM yang sudah lelah menghadiri workshop yang isinya itu-itu saja. Branding, digitalisasi, cara bikin akun marketplace—materi lama, tanpa konteks kebutuhan lokal, dan berakhir di sertifikat pelatihan yang digantung di dinding, bukan di praktik lapangan.
UMKM Stunting: Istilah Kesehatan yang Jadi Kiasan Ekonomi
Biasanya, kata “stunting” digunakan untuk menjelaskan kondisi kekurangan gizi pada anak-anak yang menyebabkan tinggi badan mereka lebih pendek dari usia semestinya. Tapi, bagaimana kalau kita pakai istilah itu untuk menggambarkan kondisi UMKM kita?
“Masalah stunting bukan hanya terjadi pada konteks gizi anak yang menyebabkan pertumbuhan tinggi badan jadi lebih lambat, tapi juga dalam konteks UMKM kita, karena para pelaku Usaha Mikro-nya tampak begitu sulit bertumbuh lebih besar, akhirnya mandeg atau mengalami stagnasi.”
Jleb.
UMKM kita memang banyak. Tapi banyaknya kuantitas tak menjamin kualitas dan kapasitas mereka berkembang. Mereka butuh ekosistem pendukung: akses ke modal yang murah, pasar yang adil, dan pendampingan yang konsisten.
Jangan Lagi Ngaku Sayang UMKM Kalau Peta Jalannya Aja Gak Punya
Kalau kita sepakat bahwa UMKM adalah kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka kita harus serius soal cara memperlakukannya. Harus ada data. Harus ada peta jalan. Harus ada perencanaan yang nggak asal jadi power point lalu dibacakan di seminar.
“Sejatinya, jika memang pemberdayaan UMKM itu isu penting, maka basis data yang lengkap dan dokumen road map itu ada.”
Sayangnya, yang sering terjadi justru sebaliknya. UMKM jadi objek pencitraan, bukan subjek pembangunan.
Antara Seremonial dan Sinergi
Dari luar, seolah negara sudah melakukan banyak. Tapi dari dalam, banyak pelaku usaha mikro yang merasa sendirian.
Mereka tetap buka lapak, tetap bikin produk, tetap cari pembeli—dengan atau tanpa program pemerintah. Mereka berjuang sendiri. Dan ketika datang undangan pelatihan, banyak dari mereka datang bukan karena materi, tapi karena berharap dapat akses baru: kenalan distributor, info kredit ringan, atau sekadar koneksi ke dinas.
Ironis, karena kadang yang mereka dapat hanyalah snack kotak dan materi PDF.
Jadi, Apa yang Harus Dilakukan?
Pertama-tama, berhenti mengulang pola yang sama dan berharap hasil berbeda. Kita tahu program satu arah tanpa kelanjutan tidak berhasil, lalu kenapa masih dipakai?
Kedua, bangun database yang kuat. Kita tidak bisa merancang solusi kalau bahkan tidak tahu siapa saja pelaku UMKM yang aktif dan apa masalah mereka.
Ketiga, jangan cuma dampingi UMKM, tapi tumbuh bersama mereka. Pendampingan yang baik adalah yang hadir sebelum, saat, dan setelah krisis. Bukan yang muncul hanya saat event dan menghilang setelah kamera dimatikan.
Kalau tidak, jangan heran kalau nanti para pelaku UMKM lebih memilih jadi pegawai, karena merasa jadi pengusaha kecil justru lebih bikin kecil hati.
Kalau kamu pelaku UMKM dan merasa relate, itu artinya kita perlu lebih lantang bicara. Karena seperti kata pepatah ekonomi: “Yang tidak bersuara, tidak masuk anggaran.”