
Sore di Pantai Vio-Vio, Barelang, Batam, biasanya hanya ditemani riak ombak kecil dan sepasang kekasih yang pura-pura ngobrol serius padahal sibuk menutupi degup jantung. Tapi Jumat, 22 Agustus 2025, pemandangan berubah total. Pasir putihnya bukan cuma dijejak sandal jepit wisatawan, melainkan riuh langkah puluhan jurnalis televisi dari seantero Sumatera.
Ada yang jauh-jauh dari Aceh, ada yang cukup nyeberang dari Tanjungpinang. Mereka datang bukan untuk “doorstop” pejabat, bukan pula untuk ngejar “live report”, melainkan untuk hal yang lebih sederhana tapi justru lebih berharga, merayakan ulang tahun ke-27 Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Bayangkan saja. Wajah-wajah yang biasanya kita lihat serius di layar kaca kadang sampai bikin penonton tegang tiba-tiba berubah jadi kayak anak-anak SD main 17-an. Ada yang nyemplung pasir gara-gara tarik tambang, ada yang ngos-ngosan dikejar dalam permainan “kepala kejar ekor naga” (seingat saya itu nama permainannya, yang disampaikan oleh pembawa acara, Lenzo). Kalau ada warga yang lewat, mungkin bakal mikir, “Ini rombongan jurnalis atau tim outbound pegawai koperasi?”
Tawa di Balik Deadline
Sebagai wartawan yang nggak ikut organisasi IJTI (karena saya bukan wartawan tv), saya melihat momen itu dengan hati agak campur aduk. Ada hangat, ada haru, ada refleksi kecil yang nongol di kepala. Kita sering lupa, di balik wajah serius jurnalis yang dikejar deadline, ada manusia biasa yang butuh ketawa, butuh gila-gilaan, dan sesekali butuh jatuh bareng di pasir.
Tapi kebersamaan kayak gini nggak boleh berhenti di pantai. Solidaritas jurnalis seharusnya nggak cuma sekadar jadi “teman tarik tambang”. Solidaritas sejati itu muncul ketika ada kawan yang ditekan aparat, dikriminalisasi gara-gara berita, atau diintimidasi karena nulis yang benar. Di situlah kita diuji, apakah cuma kompak saat lomba, atau juga kompak saat marwah profesi dipertaruhkan?
Lebih dari Sekadar Atribut Organisasi
Acara itu juga dihadiri Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan, dan anggota Dewan Pers, Jazuli. Simbolis banget, iya. Tapi justru yang lebih penting buat saya adalah suasana non-formalnya. Di pantai itu, sekat organisasi, sekat stasiun TV, bahkan sekat daerah tiba-tiba lenyap. Semua sama: sama-sama keringetan, sama-sama ketawa, sama-sama manusia.
Jadi, sebenarnya nggak penting kita gabung asosiasi mana, kerja di TV nasional atau TV lokal. Yang penting, jangan pernah beda komitmen soal marwah profesi. Kalau satu jurnalis ditekan, itu bukan urusan “dia”. Itu urusan kita semua. Pantai Vio-Vio sore itu kasih bukti, solidaritas jauh lebih kuat dari sekat organisasi maupun nama perusahaan media di ID card.
Ombak Pergi, Solidaritas Jangan
Besoknya, di pantai Vio-Vio, jejak kaki jurnalis-jurnalis itu hilang, disapu ombak. Tapi semangat yang ditinggalkan di pasir nggak boleh ikut hanyut. Mereka pulang ke daerah masing-masing, Aceh, Jambi, Riau, Lampung, sampai Lingga untuk kembali ke rutinitas. Bedanya, kali ini mereka bawa oleh-oleh semangat solidaritas yang harus tetap hidup.
Solidaritas itu mesti ada di ruang redaksi, di lapangan liputan, bahkan di rapat redaksi yang kadang lebih panas dari teriknya siang di Batam. Karena jurnalisme itu bukan cuma soal menyajikan fakta. Ia juga soal menjaga satu sama lain supaya tetap bisa menyampaikan fakta tanpa takut diintimidasi.
Ulang tahun IJTI ke-27 di Pantai Vio-Vio bukan pesta kecil ala anak organisasi. Ia lebih dari itu, pengingat bahwa jurnalis, sekeras apa pun wajahnya di layar kaca, tetaplah manusia yang butuh tawa. Dan lebih dari itu, ia pesan sederhana tapi dalam, pers kuat bukan karena atribut, bukan karena label organisasi, melainkan karena kita memilih untuk saling menjaga.
Kalau di pantai kita bisa ketawa bareng, maka di lapangan kita juga harus siap berdiri bareng. Karena solidaritas jurnalis sejati tidak mengenal ombak yang datang dan pergi.
Oleh: Akhlil Fikri