
KUTIPAN – Di tengah riuhnya pembangunan Batam dan Bintan yang kerap jadi “anak emas” Kepulauan Riau, Tanjungpinang pelan-pelan menyuarakan haknya untuk ikut maju. Bukan sekadar kota tua penuh sejarah, tapi juga ibu kota provinsi yang selama ini terasa seperti anak tiri dalam rencana besar pembangunan nasional.
Dalam sebuah rapat koordinasi yang digelar di Gedung Bina Graha Kantor Staf Presiden, Jakarta, Rabu (7/5/2025), Wali Kota Tanjungpinang Lis Darmansyah datang membawa sederet usulan. Rapat ini bukan rapat biasa. Di sana hadir Kepala Staf Kepresidenan Letjen TNI (Purn) AM Putranto dan Menteri Transmigrasi.
Isinya pun tidak main-main: pembahasan awal desain pengembangan wilayah Provinsi Kepulauan Riau, yang menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).
Lis menegaskan, Tanjungpinang harus mendapat perhatian lebih. “Sebagai ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang harus mendapatkan perhatian pembangunan yang berkelanjutan dan terintegrasi. Usulan kami selaras dengan arah pengembangan wilayah nasional,” ujarnya.
Beberapa proyek yang diusulkan terdengar sangat masuk akal—dan jujur saja, sudah lama layak diperjuangkan. Mulai dari pembangunan jalan lingkar yang menghubungkan Free Trade Zone (FTZ) Tanjungpinang dan Bintan, penataan kawasan kota lama yang mulai ketinggalan zaman, hingga revitalisasi Pelabuhan Penyengat, gerbang utama ke pulau penuh sejarah Melayu itu.
Pembangunan jalan lingkar yang dimaksud meliputi Jembatan Madong–Sungai Nyirih, Jembatan Pinang Marina–Tanjung Lanjut, hingga lanjutan penataan Jalan dan Kawasan Gurindam 12. Pekerjaan rumah yang kalau dibayangkan bentuknya, seperti puzzle besar yang lama tidak diselesaikan.
Masalah banjir juga jadi fokus utama penataan kawasan kota lama. Selain soal genangan air yang rutin mampir setiap musim hujan, Lis juga menyoroti pentingnya penggantian aspal ke pattern concrete—jenis konstruksi yang katanya lebih awet dan enak dipandang. Estetik, katanya. Tapi ya memang, penataan kawasan tidak bisa setengah-setengah.
Bagian yang paling menggelitik adalah rencana revitalisasi kawasan heritage Tionghoa di Senggarang dan pengembangan wisata Bukit Manuk. Dua titik yang sebenarnya menyimpan potensi wisata luar biasa, tapi sering kali luput dari sorotan pembangunan.
Namun, semua rencana indah itu pelan-pelan terbentur kenyataan pahit: lahan dan anggaran.
Lis menyebut sekitar 1.637,54 hektare lahan yang kini dikuasai pihak swasta ternyata sudah teridentifikasi sebagai lahan terlantar sejak 2024. Artinya, tanah-tanah itu terbengkalai, tidak dimanfaatkan, dan malah menghalangi investasi. Satu sisi, investor ingin masuk. Sisi lain, lahannya nganggur tapi sudah ‘punya orang’. Jalan buntu.
Belum lagi masalah klasik: anggaran terbatas. Hal ini bikin penataan kawasan wisata atau pemukiman kumuh harus antre panjang. Sementara waktu terus berjalan, dan pembangunan di daerah lain melaju cepat.
“Kami berharap Pemerintah Pusat dapat mengalokasikan anggaran melalui APBN untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di Tanjungpinang, agar kota ini dapat berkembang pesat sebagai ibu kota Provinsi Kepulauan Riau,” pinta Lis, penuh harap.
Tanjungpinang ingin maju. Tapi yang dibutuhkan bukan hanya niat, melainkan juga dukungan konkret dari pusat dan provinsi. Kalau tidak, kota ini akan terus jadi ibu kota yang disayang lewat kata-kata, tapi dilupakan dalam aksi nyata.
Editor: Fikri Laporan ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan.