
KUTIPAN – Ada yang sedang dibenahi di jantung malam Kota Tanjungpinang. Bukan sekadar jalan rusak atau lampu mati. Tapi sebuah kawasan kuliner yang sudah melegenda: Akau Potong Lembu. Tempat ini bukan hanya surga perut, tapi juga simpul memori warga yang pulang, dan daya tarik wisatawan yang datang. Tapi ya, seiring popularitas, tantangan pun ikut berdatangan.
Kawasan Akau ini ibarat magnet malam hari. Ramai, hidup, dan kaya aroma—dari asap sate sampai wangi kopi hitam. Tapi di balik semarak itu, ada yang mulai terasa miring: soal lapak ganda dan harga yang kadang bikin pengunjung mendadak mikir dua kali sebelum pesan makanan kedua.
Makanya, Pemko Tanjungpinang, lewat Sekda Zulhidayat, mulai bersuara. Dengan nada yang nggak menggurui tapi jelas mengarah, ia bicara soal pembenahan tata kelola. Dan salah satu langkah paling tegas yang ditekankan: satu pedagang, satu lapak.
“Berbicara tentang wisata, Akau Potong Lembu ini juga merupakan aset kita. Kuliner adalah salah satu kekuatan pariwisata. Tentu kita semua sepakat bahwa tempat ini harus dijaga dan dikelola dengan baik,” ujarnya, Kamis (8/5).
Logikanya sederhana. Kalau satu orang bisa kuasai beberapa lapak dan disewakan lagi, yang muncul bukan gotong royong, tapi rente. Yang meraup untung besar bukan pedagang asli, tapi calo kuliner. Sementara wajah Akau—yang seharusnya merakyat dan bersahabat—berisiko berubah jadi kawasan bisnis eksklusif.
Zulhidayat mengakui, praktik seperti ini masih terdengar di lapangan. “Misalnya, si A mendapatkan lapak, tetapi kemudian menyewakannya kepada pihak lain. Tentu saja, hal itu tidak diharapkan terjadi,” katanya.
Ia menekankan bahwa pembenahan ini bukan soal siapa dapat apa, tapi bagaimana ruang publik ini tetap bisa dinikmati semua, secara adil.
“Ke depan, kita semua perlu berbenah untuk memastikan tata kelolanya semakin baik dan teratur,” tambahnya.
Bukan cuma soal lapak, tapi juga soal harga. Makanan boleh beragam rasa, tapi tarifnya harus satu: jelas. Nggak boleh pakai sistem “harga tergantung tampang pengunjung”.
“Contohnya, harga kopi satu cawan harus transparan, termasuk pajaknya. Jangan sampai yang biasanya Rp10 ribu tiba-tiba jadi Rp15 ribu. Itu tidak boleh terjadi karena dapat merusak citra pariwisata dan kota Tanjungpinang,” tegas Zulhidayat.
Ini bukan sekadar urusan ekonomi mikro. Ini soal kepercayaan. Wisatawan datang bukan cuma untuk kenyang, tapi juga untuk merasa aman. Dan warga lokal pun perlu tahu, ruang publiknya dijaga untuk semua, bukan dimonopoli atau dimanipulasi.
Perlu diakui, hasil kolaborasi Pemprov Kepri dan Pemko Tanjungpinang sudah mempercantik tampilan fisik Akau. Tapi pembenahan wajah harus diikuti pembenahan sistem. Karena tempat makan bisa bersih dan Instagramable, tapi kalau pengelolaan bobrok, tetap saja bikin ilfeel.
Akau Potong Lembu bukan cuma titik makan malam. Ia adalah cerita yang dikunyah pelan-pelan, dinikmati dalam suasana, dan diharapkan tetap lestari. Karena kalau ikon kota tidak dijaga, lalu apa yang mau diwariskan ke generasi setelah ini?
Editor: Fikri Laporan ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan.