
KUTIPAN – Di bawah langit Singkep yang hangat, langkah-langkah kaki berseragam menapaki jalan-jalan kecil. Bukan untuk razia, bukan pula untuk patroli. Tapi untuk menyapa. Untuk membawa sedikit harap dalam bentuk beras, sarden, dan minyak goreng.
Di tangan mereka, ada sembako. Tapi di hati mereka, ada empati.
Dalam semangat yang jarang disorot kamera, Polres Lingga kembali hadir lewat program Jumat Berkah, sebuah kegiatan rutin yang sarat makna. Lima kepala keluarga menjadi penerima. Mungkin kecil di mata sebagian, tapi besar bagi mereka yang tak selalu punya cukup untuk makan tiga kali sehari.
“Kami tidak hanya hadir untuk menegakkan hukum, tetapi juga ingin menjadi bagian dari solusi sosial. Lewat kegiatan seperti ini, kami ingin hadir dengan empati dan kasih,” ujar IPTU Maidir Riwanto, S.H., pada Jumat 18 April 2025.
Ada jeda panjang dalam kalimatnya. Mungkin karena beliau tahu, keadilan sosial bukan hanya soal pasal dan pidana. Tapi juga soal rasa dan kepekaan. Tentang menengok mereka yang luput dari statistik, tapi nyata dalam kenyataan.
Di Singkep, seorang bapak bernama Safri berdiri dengan mata yang berkaca. Ia tak bicara banyak. Tapi kalimatnya cukup menggugah:
“Alhamdulillah, bantuan ini sangat membantu kami. Terima kasih kepada Bapak Kapolres dan jajaran yang sudah peduli. Semoga kebaikan ini terus berlanjut.”
Dalam lanskap publik yang sering dipenuhi berita negatif tentang penegak hukum, inilah oase kecil. Ketika polisi hadir bukan untuk menggeledah, tapi untuk mendengarkan. Bukan untuk menggertak, tapi untuk mengulurkan tangan.
Satu paket sembako. Tapi sejuta makna.
Kadang, bentuk perhatian tak perlu megah. Tak harus viral. Karena kemanusiaan tidak butuh panggung, ia hanya butuh ruang.
Kegiatan ini juga bukan sekadar seremonial. Ada dialog, ada tawa kecil, dan ada hangat yang tak bisa difabrikasi. Hubungan yang dibangun tanpa sekat—karena ketika polisi berbicara dengan warga seperti saudara, di situlah kepercayaan mulai bertumbuh.
Polres Lingga paham betul, hukum akan kehilangan daya jika tak berjalan seiring dengan kemanusiaan. Maka mereka menenun jembatan: antara rasa takut dan rasa percaya, antara aparat dan rakyat, antara wewenang dan welas asih.
Tentu, tak semua bisa diselesaikan lewat bantuan sembako. Tapi semua perubahan besar selalu dimulai dari satu langkah kecil. Dan Jumat Berkah ini adalah satu langkah menuju Indonesia yang lebih ramah, lebih adil, dan lebih manusiawi.
Apakah ini cukup? Tentu belum. Tapi apakah ini penting? Sangat. Karena dalam dunia yang semakin bising oleh tuntutan dan polemik, hadirnya polisi yang memilih untuk diam-diam berbuat baik adalah narasi yang layak diangkat.
Dan mungkin, dari sini kita bisa bertanya pada diri: Sudahkah kita juga hadir di kehidupan orang lain, bukan untuk menilai, tetapi untuk memahami?
Di ujung kegiatan itu, tak ada upacara. Hanya pelukan sunyi dari warga kepada negara, yang kali ini hadir dengan wajah yang lebih lembut. Bukan dengan rotan, tapi dengan tangan terbuka.
Jumat Berkah di Lingga bukan sekadar program. Ia adalah cermin—bahwa dalam balutan seragam, masih ada hati yang memilih untuk turut merasakan.***
Laporan: Yuanda Editor: Fikri