Sebuah inisiatif menarik muncul dari sekelompok pemuda di Desa Duara, Kecamatan Lingga Utara, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau yang memanfaatkan pesisir pantai dengan rindangnya pepohonan bakau atau mangrove sebagai tempat budidaya pembesaran ketam bakau.
Nasrin, ketua kelompok pembudidaya pembesaran ketam bakau, menjelaskan bahwa dalam upaya pembudidayaan ini, mereka tidak merusak pohon bakau atau mangrove yang ada di wilayah pesisir pantai.
Menurutnya, pepohonan bakau memberikan perlindungan terhadap ketam bakau dari sinar matahari langsung yang bisa berbahaya karena ketam bakau tidak tahan terik panas.
“Dengan adanya pohon bakau di sekitar tempat budidaya, ketam-ketam ini mendapatkan perlindungan alami dari sinar matahari. Kami berusaha untuk tidak merusak ekosistem yang ada,” kata Nasrin ketika ditemui belum lama ini di keramba pembesaran ketam di Desa Duara.
Kelompoknya secara bersama-sama membuat pagar atau keramba pengepung dari kayu atau papan dengan ukuran petakan seluas 20×20 meter, didalam keramba atau petakan pagar pengepung itu ditebar bibit ketam bakau dengan jumlah lebih kurang 750 sampai 800 ekor bibit ketam bakau.
“Kalau dibikin petakan kayak gini ketam-ketam ini bisa bebas bergerak secara alami, setahun itu satu kali panen, ukuran 8 sampai 7 ons,” ungkap Nasrin.
Nasrin mengungkapkan, awal mula budidaya pembesaran ketam bakau ini dari program ketahanan pangan Desa Duara, yang selanjutnya mereka kelola secara mandiri dan berkelanjutan, pada panen perdana kelompoknya berhasil memanen ketam bakau sebanyak 100 kilogram.
“Awalnya dari program ketahanan pangan Kades yang usulkan, terus kita langsung cari lokasi dan dapatlah tempat ini. Kemarin mungkin masih baru percobaan itu 100 kilogram,” ungkap Nasrin.
Untuk bibit ketam bakau, Nasrin mengungkapkan didapat dari masyarakat sekitar, untuk ukuran bibit yang ditebar di keramba berukuran 1 ons, dengan estimasi masa panen sekitar 6 sampai 7 bulan setelah tebar.
“Bibitnya didapat dari orang-orang kampung, bibitnya itu berukuran 1 Ons lebih, kalau 1 ons lebih itu paling 6 sampai 7 bulan sudah bisa di panen,” ungkap Nasrin.
Sementara untuk pemasaran mereka menjual ke pengepul yang nantinya di jual ke Kota Batam, kelompoknya menjual ketam-ketam yang berukuran 5 sampai dengan 8 ons dengan harga bervariatif sesuai dengan ukuran.
“Untuk penjualan di Batam, tergantung ukuran, kalau ukuran 5 ons Rp100 lebih, kalau mencapai 1 kilo Rp200 lebih,” ungkap Nasrin.(Fik/Ino)