
KUTIPAN – Ada yang pelan-pelan bergerak di Resang, sebuah wilayah di Kabupaten Lingga yang selama ini mungkin lebih sering disebut ketimbang diperhatikan. Bukan tambang, bukan pula proyek mercusuar. Yang berjalan justru sabut kelapa limbah yang dulu dipandang sebelah mata, kini mulai punya paspor ekspor.
Akhir 2025, Sentra IKM Kelapa Resang akhirnya bisa bernapas agak lega. Cocopeat, produk turunan sabut kelapa, berhasil dikirim keluar negeri. Dua kali. Masing-masing 24 ton. Tidak besar, kata pemerintah. Tapi cukup untuk membuktikan bahwa mesin sentra ini benar-benar hidup, bukan sekadar papan nama proyek.
“Cocopeat, kita pertama kali 24 ton di 27 November dan 15 Desember kita melakukan pengiriman kembali cocopeat sebanyak 24 ton,” kata Plt Kepala Disperindagkop UKM Lingga, Febrizal Taupik, saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (17/12/2025).
Nada bicaranya terdengar biasa saja. Tidak meledak-ledak seperti peresmian. Tidak juga bombastis seperti rilis investasi. Tapi justru di situlah menariknya. Karena bagi daerah seperti Lingga, ekspor sekecil apa pun tetaplah lompatan.
“Alhamdulillah walaupun tidak besar untuk ekspor ini, tapi ini berjalan, tentu harapan kita ke depan IKM Sentra Kelapa yang ada di Resang ini terus berjalan,” lanjutnya.
Kalimat “terus berjalan” itu penting. Sebab Sentra IKM Kelapa Resang bukan proyek dadakan. Ia lahir dari rangkaian kajian, forum diskusi, dan bolak-balik pembahasan dengan kementerian serta universitas. Semua dilakukan agar sentra ini tidak sekadar hidup di proposal, lalu mati di lapangan.
“Semua kajian-kajian sudah kita lakukan dan kita sudah melakukan forum diskusi pada kementerian pada universitas-universitas yang menjadi tenaga ahli terkait Sentra IKM Kelapa,” ujar Febrizal.

Saat ini, sentra tersebut baru menggerakkan dua lini produksi, cocopeat dan coco fiber. Dua-duanya berbasis sabut kelapa. Tapi bagi pemerintah daerah, itu belum cukup. Masih ada mimpi yang belum sepenuhnya bangun, VCO dan bricket.
“Semoga ke depan Sentra IKM ini terus bergulir, saat ini sentra IKM kita berjalan dua, pertama cocopeat dan coco fiber, ada tugas terbesar yang harus kami jalankan yaitu bagaimana menghidupkan VCO-nya, minyak kelapa tersebut dan satu lagi bricket,” katanya.
Bricket, arang padat dari tempurung kelapa, bukan cuma soal bahan bakar. Dalam bayangan Febrizal dan para tenaga ahli, ia bisa menjadi sumber energi alternatif. Bahkan, bukan mustahil suatu hari nanti listrik di kawasan kecil Resang menyala dari bricket kelapa.
“Saya sudah bicara juga dengan tenaga ahli, bricket ini akan menghasilkan energi listrik yang suatu saat nanti tenaga listrik itu bisa menggunakan bricket itu untuk kawasan Resang kita bisa menggunakan daripada bricket tersebut,” ungkapnya.
Yang menarik, sentra ini tidak berhenti pada produk industri saja. Sabut kelapa yang dulu dianggap limbah kini menjelma jadi barang rumah tangga dan kerajinan. Dari sapu, tas, sampai pot bunga, semuanya lahir dari sisa produksi cocopeat dan coco fiber.
“Dari turunan daripada sentra kelapa ini kita juga membuat kerajinan dari sabut kelapa yang dianggap limbah dan sekarang sudah kita buat seperti sapu, tas, pot bunga dari turunan daripada sabut kelapa yang kita hasilkan daripada cocopeat dan cocofiber tersebut,” jelasnya.
Di titik ini, Sentra IKM Kelapa Resang mulai terasa seperti ekosistem kecil. Ada produksi, ada turunan, ada tenaga kerja. Tercatat, hingga kini sudah 32 orang warga lokal yang terserap bekerja.
“Dan alhamdulillah penyerapan tenaga kerja sampai saat ini masih 32 tenaga kerja yang kita ambil dari masyarakat yang ada di wilayah Resang,” kata Febrizal.
Langkah berikutnya, kata dia, adalah merapikan hitung-hitungan aset. Tujuannya jelas, agar sentra ini tidak hanya jadi cerita inspiratif, tapi juga benar-benar menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Lingga.
“Kami juga lagi menyusun penghitungan dari aset daripada IKM Sentra Kelapa supaya ada menghasilkan PAD untuk Kabupaten Lingga dengan Sentra Kelapa ini,” tutupnya.





