
KUTIPAN – Kebijakan Restorative Justice (RJ) atau keadilan restoratif bagi pengguna narkotika kini tengah menjadi sorotan tajam. Meski digadang-gadang sebagai solusi untuk mengurai kepadatan lapas (overcapacity) dan memanusiakan korban penyalahgunaan zat, kebijakan ini dinilai menyimpan bom waktu yang bisa berujung pada malapetaka sosial.
Kritik keras muncul seiring dengan kekhawatiran bahwa penerapan RJ justru akan melemahkan efek jera dan membuka ruang gelap bagi praktik korupsi di lembaga penegak hukum.
Hilangnya Efek Jera: “Penjara Tak Lagi Menakutkan”
Salah satu poin krusial yang menjadi sorotan adalah narasi bahwa pengguna narkotika hanyalah “korban”. Jika setiap pengguna dengan mudah mendapatkan akses RJ dan rehabilitasi tanpa proses pidana yang ketat, dikhawatirkan akan terjadi lonjakan angka pengguna narkotika di Indonesia.
“Jika semua pengguna narkotika berlindung di balik status korban untuk mendapatkan RJ, maka penjara tidak lagi dianggap sebagai konsekuensi yang menakutkan,” ujar seorang Pemerhati Hukum di Kabupaten Karimun, M. Saimi Arrahman Rambe, S.H atau akrab disapa Ami Bagan.
Tanpa adanya ancaman kurungan yang nyata, masyarakat khawatir akan muncul gelombang tinggi peredaran narkoba karena para pengguna merasa ‘kebal’ hukum.
Celah Korupsi dan Transaksional di Balik RJ
Selain masalah efek jera, ungkap Ami Bagan, integritas aparat penegak hukum juga dipertaruhkan. Kebijakan RJ bagi pengguna narkotika dianggap sangat rawan disalahgunakan menjadi komoditas transaksional.
“Potensi praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di kalangan penyidik kepolisian maupun kejaksaan meningkat ketika penentuan siapa yang berhak mendapatkan RJ bersifat subjektif. Tanpa pengawasan ketat, status “pengguna” bisa saja diperjualbelikan oleh oknum agar pengedar atau bandar kecil bisa lolos dari jerat hukum dengan kedok rehabilitasi,” ungkapnya.
Antara Kebaikan dan Malapetaka
Pemerintah dan penegak hukum kini dihadapkan pada pilihan sulit. Di satu sisi, rehabilitasi memang dibutuhkan bagi mereka yang benar-benar kecanduan. Namun di sisi lain, jika implementasinya serampangan, RJ hanya akan menjadi karpet merah bagi meluasnya peredaran narkotika di tanah air.
“Atas hal tersebut, diperlukan standardisasi yang jauh lebih ketat dan transparansi publik dalam setiap putusan RJ agar kebijakan ini tidak berubah dari niat baik menjadi malapetaka nasional,” pungkasnya mengakhiri.





