KUTIPAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian materiil terkait norma open legal policy dan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD 1945.
Berdasarkan siaran pers MK pada Selasa (16/7/2024), permohonan sidang tersebut diajukan oleh pemohon dari kalangan mahasiswa. Sidang digelar dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Permohonan dengan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024 tersebut, diajukan oleh Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan.
Dalam permohonan tersebut, pemohon berpendapat bahwa ketidakhadiran ketentuan spesifik dalam UUD 1945 mengenai materi hukum dalam pengujian yudisial telah melahirkan konsep baru, yaitu Kebijakan Hukum Terbuka (Open Legal Policy). Terkait dengan ambang batas dalam Pasal 222 UU Pemilu, DPR RI merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 untuk menilai konstitusionalitas penerapan ambang batas presidensial.
Pemohon menegaskan bahwa partai-partai di parlemen seharusnya memperhatikan kehendak rakyat, terutama dengan mempertimbangkan bahwa Pasal 222 UU Pemilu telah diajukan untuk judicial review sebanyak 29 kali. Aspirasi rakyat tidak selalu harus disampaikan melalui dialog langsung, tetapi juga melalui fakta-fakta sosial yang ada.
Pemohon menegaskan bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum melanggar prinsip Kebijakan Hukum Terbuka terkait moralitas, menggerus moralitas demokrasi dengan adanya agregasi partai politik yang mengakibatkan tidak berjalannya fungsi partai politik. Hal itu bertentangan dengan Pasal 11 ayat (1) huruf c UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang menyatakan bahwa partai politik berfungsi sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
Menurut Pemohon, ketentuan Presidential Threshold (PT) cenderung menjadikan rakyat sebagai objek dalam demokrasi, bukan subjek. Bukti dari hal ini adalah bahwa permohonan PT sudah diajukan sebanyak 29 kali. Meskipun Mahkamah menyatakan PT sebagai Open Legal Policy, pembentuk undang-undang seharusnya sudah menangkap aspirasi konstitusional warga negara untuk mempertimbangkan ulang kebijakan ini.
Namun, sampai saat ini, tidak ada itikad baik dari pembentuk undang-undang untuk melaksanakan atau mempertimbangkan aspirasi tersebut. Sikap ini menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang tidak melihat masyarakat sebagai subjek dalam demokrasi, sehingga aspirasi-aspirasi mereka diabaikan. Dengan demikian, Mahkamah seharusnya dapat melangkah lebih jauh untuk menjaga moralitas demokrasi.
Selain banyaknya pengujian terhadap ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, aspirasi-aspirasi tersebut juga datang dari berbagai kalangan, terutama pakar hukum dan tokoh masyarakat. Hal ini semakin menunjukkan bahwa ketentuan PT dalam Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan moralitas demokrasi.
Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan Pasal 222 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum melanggar batasan Open Legal Policy (moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable) dan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Menyatakan Presidential Threshold pada Pasal 222 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 bertentangan dengan moralitas demokrasi.