
Pagi belum lama ini Wak dengar berita nasional, anggaran daerah bakal dipotong sampai seperempat. Katanya untuk biayai program besar dari pusat. Wak geleng kepala, “Eh, macam ni lah piring rakyat kampung dikosongkan supaya meja pusat penuh lauk pauk.”
Bukan itu saja, untuk nutupi kekurangan, daerah diminta tambah pemasukan. Apa lagi kalau bukan pajak? Ya pajak lagi, pajak lagi.
Dompet Pusat Gemuk, Dompet Rakyat Tipis
Wak fikir, pusat ini pandai betul main sulap. Dari jauh nampak cantik: “makan gratis, program mulia, pembangunan besar-besaran.” Tapi siapa yang bayar? Rakyat juga. Orang kaya masih boleh senyum, tapi orang kampung macam Wak ni nak bayar pajak sampah pun dah berkeringat.
Dulu, beli cabai satu kilo masih bisa, sekarang kena pajak kanan kiri. Nanti jangan-jangan kalau Wak bersin pun dipajakin, dengan alasan “untuk kesehatan lingkungan.”
Pajak Tak Salah, Cara yang Salah
Wak bukan anti pajak, sebab pajak itu nafas negara. Tapi kalau pajak cuma jadi jalan pintas, rakyat jadi korban. Jalan rusak masih berlubang, sekolah bocor atap, puskesmas kurang obat tapi pajak diminta lebih.
Kalau duit pajak masuk lubang pembangunan, rakyat boleh sabar. Tapi kalau masuk lubang kantong yang tak pernah penuh, itu namanya menipu.
Rakyat Disuruh Ikat Pinggang, Pejabat Longgar Pakai Ikat Perut
Wak heran. Katanya rakyat disuruh hemat, sementara pejabat belanja gaya. Katanya daerah kena potong, tapi anggaran pusat tetap jalan cantik. Ini ibarat kapal: awak nak selamatkan nakhoda, tapi awak buang penumpang ke laut.
Kalau memang harus dipotong, potonglah yang gemuk dulu. Jangan peras yang kurus sampai tinggal tulang.
Jangan Sampai Rakyat Jadi Mesin ATM
Bagi Wak, rakyat bukan mesin ATM yang bisa dipencet tiap kali butuh. Kalau tiap masalah pusat dioper ke daerah, daerah dioper ke rakyat, habis lah kita semua.
Macam kata orang kampung: “Kalau kerbau diperah terus, susu habis, tinggal tanduk.” Begitulah rakyat, kalau terus ditekan, yang keluar bukan uang lagi, tapi amarah.
Wak Lendot