
Bagi kaum pekerja kantoran, hujan deras di tengah malam bisa berarti dua hal: nyenyak bentar, lalu bangun dan sumpah serapah karena besok harus ngantor jam 7 pagi. Tapi bagi kami kaum freelance? Hujan malam itu… berkah dari langit. Kayak disuruh Tuhan untuk nambah satu episode lagi di Netflix sambil ngelus-ngelus kasur.
Iya, betul. Ini bukan lelucon. Di saat teman-teman kantoran sibuk mikirin baju kerja yang belum disetrika, kami para freelancer justru tenggelam dalam kenikmatan: mendengar suara hujan yang merdu, sambil rebahan, kadang ngopi, kadang nulis, kadang juga cuma nge-scroll TikTok sampai subuh.
Mau tahu yang lebih sakral? Kami bisa bangun siang tanpa rasa bersalah. Karena kerjaan kami fleksibel, jam kerja kami bisa mulai setelah matahari naik segede pentol bakso. Bangun jam 10 siang bukan dosa. Itu privilege. Lebih tepatnya: anugerah.
Freelance itu ibarat hidup di dunia alternatif di mana waktu bukan musuh, tapi kawan karib. Mau kerja jam 1 pagi? Boleh. Mau tidur siang 3 jam? Sah. Mau libur di hari Senin? Sering. Mau nangis karena klien ghosting atau kebanyakan minta revisi? Nah, ini default.
Tentu bukan berarti hidup kami tanpa beban. Justru beban kami abstrak. Kayak harus bisa produktif di tengah godaan Youtube shorts, mikir invoice yang nggak dibayar 2 minggu, atau klien yang bilang, “Revisi kecil aja kok,” tapi minta revisi level bedah total.
Tapi semua itu setimpal ketika hujan turun jam 2 pagi dan kami bisa menyambutnya dengan gembira. Seolah langit berkata, “Tenang, anakku. Bangun siangmu hari ini halal.”
Sementara itu, para pekerja kantoran terpaksa merapal mantra di balik selimut: “Jangan telat, jangan banjir, jangan telat, jangan kesiangan.” Belum lagi yang rumahnya jauh, mesti naik motor nerabas banjir jam 6 pagi, demi absen yang kadang cuma dihargai senyuman atasan yang palsu.
Di titik ini, saya ingin berkata pada dunia: tidak semua orang harus bangun pagi untuk dianggap produktif. Produktivitas itu nggak melulu soal jam kerja 9 to 5. Ada orang-orang yang justru lebih hidup saat malam, saat dunia sepi, saat inspirasi datang lewat suara kodok hujan di luar jendela.
Lagipula, siapa yang menentukan standar ideal harus kerja pagi dan selesai sore? Kolonialisme? Revolusi industri? Atau nenek moyang kita yang terlalu cinta ayam berkokok?
Mari kita rayakan keberagaman ritme hidup. Yang bangun subuh untuk kerja, bagus. Yang bangun siang karena habis kerja malam, juga keren. Yang penting: kerja dengan hati, dan tidak menyiksa diri, soal pendapatan? rejeki mah sudah diatur sama yang diatas.
Dan buat kamu yang sedang iri karena harus ngantor pagi sementara temanmu yang freelance bisa bangun siang, ingatlah satu hal: hidup memang tidak adil, tapi bisa disiasati. Mungkin ini saatnya kamu pikirkan jalur karier baru? (emoticon nyengir 😁)
Raka Nugraha | freelance copywriter yang kerja sambil nonton K-Drama dan ngopi manual brew.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan kiriman dari penulis atau pembaca Kutipan. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Kutipan telah menyunting seperlunya agar sesuai dengan gaya khas media.