
Oleh: Akhlil Fikri Founder kutipan.co
Kadang saya mikir, apakah harapan hidup sejahtera itu begitu menggebu sampai bikin kita rela nyerahin uang ratusan juta ke orang—yang bahkan transaksinya cuma lewat rekening pribadi? Tapi ya, inilah realitas yang terjadi di Lingga, Kepulauan Riau. Tiga puluh orang warga rela setor duit total Rp7,3 miliar ke Safaringga—mantan karyawan BNI Life yang belakangan kita tahu menjalankan investasi bodong dari 2021 sampai awal 2025, saat itu dia masih jadi karyawan BNI Life.
Dan tahu gak, iming-imingnya apa? Bunga 20 persen per bulan.
Yap, Anda tidak salah baca. Dua puluh persen. Per. Bulan.
Dalam dunia keuangan, janji kayak begini udah masuk kategori “lampu merah menyala sambil teriak-teriak.” Tapi nyatanya, 30 orang ketipu. Bahkan SR sendiri bilang, total kerugian bisa nyentuh Rp8 miliar karena masih ada korban yang belum sempat dia kasih polis, tapi udah kasih uang.
Saya nggak mau nyalahin korban secara mentah-mentah, karena banyak dari kita memang hidup di kondisi yang susah. Tawaran kaya cepat, apalagi dari orang yang terlihat profesional dan kerja di bank besar, ya bikin percaya. Tapi ini juga jadi sinyal betapa masih jauhnya literasi finansial kita dari kata “aman.”
Yang menarik, SR ini bukan orang yang nyamar jadi karyawan bank. Dia beneran kerja di BNI Life, dan dia ngaku semua yang dia lakukan itu inisiatif pribadi. Katanya sih, gak ada sangkut pautnya sama perusahaan.
“Untuk dana masuk nasabah pun itu melalui rekening pribadi saya, rekening pribadi gaji saya dan BNI saya,” katanya.
Lha, ini jelas-jelas udah pelanggaran SOP paling dasar. Tapi kenapa bisa berlangsung selama 3 tahun lebih? Kenapa gak ada satu pun yang nanya, “Kok setor investasinya ke rekening pribadi si Mbak?”
Ya karena kadang, rasa percaya itu lebih dominan daripada akal sehat. Apalagi kalau rasa percaya itu ditumbuhkan dari simbol-simbol formalitas: seragam, kantor, kop surat, atau bahkan bahasa korporat yang terdengar meyakinkan. BNI Life sendiri akhirnya melaporkan SR ke polisi, walaupun sebelumnya katanya sempat kasih waktu untuk dia “selesaikan secara personal ke korban.”
Hmm, ini menarik. Karena di situ kita bisa lihat bahwa perusahaan tetap jaga garis batas, tapi gak lepas tangan juga. Sementara SR, dengan segala kekacauan yang dia timbulkan, tetap berani muncul ke publik dan minta maaf.
“Saya mohon maaf atas segala penipuan yang saya lakukan terhadap korban-korban termasuk yang sudah melaporkan,” katanya.
Permintaan maaf itu penting, tapi gak cukup. Uang gak bisa balik cuma pakai air mata. Dan lebih penting lagi: permintaan maaf itu harus diikuti sistem hukum yang tegas biar gak muncul SR-SR lain di masa depan.
Kasus ini bukan cuma soal satu orang yang keliru. Ini juga cermin: cermin bahwa krisis kepercayaan dan literasi bisa jadi ladang subur buat penipuan, bahkan dari orang yang kelihatannya paling bisa dipercaya.
Lain kali, kalau ada yang nawarin investasi dengan bunga di luar logika, yuk kita latihan nanya balik: “Kenapa kamu bisa kasih segede itu?” Kalau jawabannya nggak masuk akal, ya sudah, tutup pintu. Karena di dunia nyata, bunga 20 persen per bulan itu cuma ada di film atau mimpi pas bangun kesiangan.