
Pagi itu Wak duduk di serambi sekolah menunggu cucu keluar kelas. Seragamnya rapi, dasi tersusun, sepatu berkilat macam cermin. Tapi waktu Wak sapa “Assalamualaikum”, dia cuma lalu sambil mata lekat di layar telefon. Wak pun tersenyum pahit.
Dulu, kami anak kampung kalau nampak orang tua, lekas berdiri, salam sambil tunduk. Sekarang, anak-anak pintar baca buku tebal, hafal rumus kimia, tapi lupa menyapa tetangga.
Pintar di Kelas, Kosong di Hati
Wak tak salahkan sekolah. Sekolah sekarang banyak ajar ilmu, teknologi, bahkan bahasa asing. Tapi soal adab, budi pekerti, macamnya makin nipis. Anak-anak bisa jawab soal ujian dengan tepat, tapi tak tahu caranya minta maaf bila salah.
Dulu guru ajar kami bahwa otak dan hati harus sama-sama dilatih. Otak saja besar, hati kecil itu bahaya. Jadi orang pandai tapi tak tahu malu, macam kapal besar tapi tak ada kemudi.
Budi Pekerti Bukan Pelajaran Tambahan
Masalahnya, sekarang budi pekerti dianggap pelajaran tambahan, bukan kebutuhan pokok. Guru tertekan dengan target ujian, orang tua sibuk kejar ranking, lalu lupa tanya anaknya, “Hari ini awak tolong siapa?”
Bagi Wak, adab itu bukan cuma untuk nilai di rapor. Adab itu yang buat ilmu terasa manis. Kalau adab hilang, ilmu cuma jadi senjata yang bisa melukai orang lain.
Tinggi Ilmu, Rendah Diri
Wak cuma mau ingatkan, ilmu itu memang harus tinggi, tapi akhlak mesti lebih tinggi lagi. Sebab kalau kita cuma bangga dengan ijazah, tapi lupa rendah hati, kita cuma jadi menara tinggi yang isinya kosong.
Macam kata orang tua dulu: “Orang berilmu dihormati, orang beradab disayangi.” Kalau boleh pilih, Wak mau anak cucu jadi keduanya bukan salah satunya.
Wak Lendot