
KUTIPAN – Pulau Penyengat bukan sembarang pulau. Ia adalah puisi yang terbuat dari sejarah, arsitektur yang dibangun dari kapur dan putih telur, dan lantunan adzan yang masih terasa klasik. Tapi bahkan puisi bisa ternoda kalau sampah berserakan. Itulah sebabnya, ketika Gerakan Wisata Bersih (GWB) ke-11 digelar di sini, bukan hanya plastik yang disapu, tapi juga ego, kelalaian, dan rasa abai.
Di pagi yang cerah Rabu (30/7/2025), deretan orang berkumpul, bukan untuk unjuk rasa atau rapat politik, melainkan gotong royong membersihkan Balai Adat, Masjid Raya, Gudang Mesiu, dan bangunan bersejarah lainnya. Ini bukan agenda seremonial semata, tapi gerakan simbolik—tentang bagaimana wisata tak bisa dilepaskan dari martabat tempatnya.
“Kalau tempatnya kotor, siapa yang mau datang?” kata Zulhidayat, Sekda Tanjungpinang. Tanya sederhana tapi tajam, setajam kenangan kita soal tempat ini sebagai jantung peradaban Melayu.
Dan ketika pemerintah pusat, daerah, komunitas, hingga Telkomsel turun tangan, itu pertanda: wisata yang bersih bukan mimpi. Tapi kerja sama yang butuh komitmen lebih dari sekadar spanduk dan selfie.
Pulau Penyengat, Lebih dari Sekadar Destinasi
Di balik keindahannya, Pulau Penyengat menyimpan DNA Melayu: tempat bertemunya sejarah, spiritualitas, dan identitas. Tak heran jika Kementerian Pariwisata RI memilihnya jadi tuan rumah Gerakan Wisata Bersih (GWB) ke-11.
“Pulau Penyengat bukan hanya destinasi, tapi juga pusat nilai budaya dan spiritualitas Melayu,” ujar Staf Ahli Menteri Pariwisata Masruroh.
GWB bukan sekadar memungut sampah, tapi membangkitkan semangat kolektif: bahwa bersih bukan tugas tukang sapu, tapi kewajiban bersama.
Bukan Agenda Tahunan, Tapi Budaya yang Harus Tumbuh
Masruroh melanjutkan bahwa GWB bukan sekadar proyek. “Pariwisata yang bersih adalah pariwisata yang bermartabat. Kebersihan bukan sekadar indikator layanan, tetapi cerminan peradaban dan karakter bangsa,” tegasnya.
Dengan dermaga terpadu, konektivitas laut yang ditingkatkan, dan kolaborasi multipihak, Pulau Penyengat tengah dibangun sebagai pusat wisata budaya berkelas dunia—tanpa meninggalkan akarnya.
Siapa Saja yang Terlibat?
Selain pemerintah pusat dan daerah, kegiatan ini juga melibatkan Telkomsel, komunitas warga, dan pelaku wisata. “Program ini harus menjadi pemicu semangat kita bersama,” kata Zulhidayat.
Hadir pula Hariyanto (Deputi Kemenparekraf), Luki Zaiman Prawira (Asisten Ekonomi Kepri), dan Andri Tryansyah Putra (Manager Telkomsel Batam). Simbolis alat kebersihan diserahkan kepada komunitas sebagai bentuk pengakuan bahwa kebersihan tidak boleh elitis.
Laporan: Erika
Editor: Fikri
Artikel ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan media Kutipan, tanpa mengurangi substansi informasi.