
Rubrik Cerita Kutipan
Tulisan ini merupakan tulisan kolom Cerita Kutipan yang ditulis oleh Redaksi. Klo punya cerita seru asal bukan hoaks kamu juga bisa kirim tulisanmu ke: penuliskutipandotco@gmail.com
Dalam politik lokal, ada satu rumus yang nggak pernah meleset: apa pun yang dilakukan pejabat, pasti ada yang nyinyir (biasanya yang pas nyoblos dia pilih pasangan yang sebelah). Hal itu biasa yang luar biasa itu klo nyinyirnya tanpa dasar, menduga-duga, persis kayak emak-emak lagi ngegosip. Termasuk saat Bupati Lingga, Muhammad Nizar, melakukan kunjungan ke China yang katanya “menjemput investor.” Netizen +62 langsung refleks: “Wah, ini pasti plesiran!” Padahal belum tentu begitu juga, Bung.
Ceritanya, ratusan tenaga honorer di Lingga mengeluhkan keterlambatan gaji dan status kepegawaian yang nggak jelas, beredar foto-foto Bang Nizar dan rombongan lagi tampil ganteng di China.. Boom! Publik pun bereaksi, “Disayangkan sekali, Pak Bupati malah ke luar negeri di tengah kondisi kayak gini.”
Masalahnya, yang disayangkan kadang bukan substansi, tapi momen. Gaya menyayangkan publik itu kayak emak-emak ngeliat tetangga belanja di mall pas akhir bulan: nggak tahu dompetnya kayak apa, tapi langsung judge, “Itu pasti nyicil!”
Kritik Valid, Tapi Jangan Lupa Logika
Pertama-tama, ayo kita akui: keluhan honorer itu nyata dan penting. Kalau gaji telat, siapa pun pasti kesal. Mau ASN, honorer, atau makhluk setengah digital kayak kamu yang lagi baca ini. Apalagi kalau jawabannya dari dinas cuma, “Masih proses.” Ini bukan nunggu paket dari e-commerce, Bos, ini soal perut dan cicilan!
Tapi mari kita bedakan antara masalah struktural dan strategi kebijakan.
Apakah telatnya gaji honorer ini karena Bupati lagi ke China? Nggak gitu juga kan?!. Bahkan, kalau pun beliau diam di rumah dinas sambil ngopi dan update status WA dan Facebook tiap hari, belum tentu urusan itu langsung beres. Karena ini soal sistem birokrasi, bukan sekadar kehadiran satu orang. Lagipula, tugas Bupati itu bukan cuma menyapu masalah, tapi juga membangun masa depan untuk seluruh rakyat (itu wajib, karena dia dipilih oleh rakyat).
Menjemput Investasi Bukan Jalan-jalan
Ada yang bilang, (cuma segelintir orang, bukan banyak orang) “Kalau memang untuk investasi, kenapa nggak tunggu masalah internal selesai dulu?”
Oke, sekarang kita balik tanya: emangnya cari investor bisa nunggu sampai semua masalah daerah kelar? Kalau begitu, selamanya nggak bakal jalan. Karena masalah internal daerah itu kayak cucian kotor—nggak pernah benar-benar habis.
Perjalanan ke China ini, menurut sumber orang dekat Bupati, adalah bagian dari usaha menjemput investasi, kalau duduk manis di kantor tanpa gerak, rasanya daerah ini akan gini-gini aja, dan pastinya Bupati juga yang dikata-katain cuma janji ga ada aksi, jadi jangan mudah soudzon, lihat aja dulu, biarkan Bupati cari celah gaet investor, toh nantinya yang senang rakyat juga, lapangan kerja terbuka, dan ekonomi perlahan menanjak. Tapi dasar netizen, kalau liat pejabat senyum-senyum di luar negeri, yang dipikir pasti: “Ini ngabisin uang rakyat!”
Padahal, kalau pejabatnya nggak bergerak, nggak berjejaring, nggak cari peluang, yang dibilang nanti: “Ngapain diem aja? Pemimpin kok pasif!”
Kita Butuh Pemimpin yang Bergerak, Bukan Cuma Duduk Manis
Bang Nizar bukan pemula. Beliau bukan bupati musiman yang baru turun dari panggung Pilkada. Beliau petahana, sudah tahu seluk-beluk kabupaten, dan tahu bahwa membangun daerah tidak cukup dengan pidato dan program-program semu. Kadang, pemimpin perlu keluar dari zona nyaman—bahkan dari negerinya sendiri—untuk cari peluang.
Lagian, ini China lho. Bukan liburan ke Eropa musim dingin. Negeri tirai bambu itu sekarang pusat kekuatan industri dunia. Datang ke sana bukan cuma soal seremonial, tapi membuka komunikasi investasi yang bisa dibawa pulang ke Lingga, (bukankah begitukan keinginan kita-kan?). Kita juga tau ada investor dari China yang pengen jalankan investasi-nya di Lingga tapi belum beroperasi.
Yang sering dilupakan oleh para pengkritik adalah: tidak semua hasil kunjungan atau usaha yang dilakukan langsung terlihat instan. Kalau ada MoU, pembicaraan proyek, atau kesepakatan investasi, biasanya baru bisa dirasakan membutuhkan jangka panjang, nah untuk itu Bupati tak mau lama-lama untuk memulai, habis dilantik langsung tancap gas (biar cepat juga dirasakan rakyat). Tapi, karena masyarakat kadang maunya “hari ini dijanjikan, besok langsung dirasakan enaknya”, maka muncullah ekspektasi yang tidak sehat.
Masalah Gaji dan Keuangan Daerah Juga Perlu Dipahami Konteksnya
Soal gaji honorer telat? Itu juga harus dilihat dari sisi sistem penganggaran. Ada perubahan Kepala Dinas, ada proses administratif, dan belum tentu semua itu langsung bisa disulap. Perlu waktu, perlu proses, dan… ya, perlu kesabaran. Ini bukan pembelaan buta, tapi penjelasan yang logis (jangan mudah panas, kaji pakai akal yang waras).
Bahkan kadang, masyarakat menuntut efisiensi, tapi juga pengen semua program tetap jalan. Pengen pemimpin sederhana, tapi kalau pemimpinnya nggak kelihatan kerja, langsung dihujat. Lah, serba salah dong, Pak Bupati.
Akhir Kata: Kritik Oke, Tapi Jangan Asal Tuding
Jangan salah, mengkritik pemerintah itu hak rakyat. Tapi akan lebih elegan kalau disertai nalar, bukan sekadar rasa kecewa dadakan. Jangan semua yang tak disukai langsung dicap “jalan-jalan”, “korup”, atau “tidak peka.” Kadang, pemimpin harus berlayar jauh untuk bisa membawa pulang angin segar buat oang-orang yang memilih atau tidak memilihnya waktu pas coblos-mencoblos kemarin.
Jadi, biarkan Bang Nizar fokus jemput peluang. Dan sambil itu, kita tetap kawal dan tagih komitmen pelayanan yang jadi hak kita. Karena antara niat baik dan hasil baik, selalu ada proses panjang yang nggak bisa dipahami hanya dari satu foto di media sosial.