
KUTIPAN – Di tengah dunia yang makin serba daring, digitalisasi bukan lagi sekadar soal siapa punya aplikasi paling canggih atau dashboard paling keren. Di mata Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Kepulauan Riau, Hendri Kurniadi, digitalisasi adalah soal kepercayaan. Sebuah modal sosial yang menentukan apakah masyarakat masih mau percaya pada pemerintah di era penuh kabar simpang siur seperti sekarang.
Hal itu disampaikan Hendri saat menjadi narasumber dalam kegiatan Kuliah Kerja Profesi (KKP) Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (Sespim) Lemdiklat Polri Angkatan ke-2 Tahun 2025, yang digelar di Gedung Lancang Kuning Polda Kepri, Batam, Rabu (12/11/2025).
Dalam paparannya berjudul “Optimalisasi Pelayanan Digital: Kunci Kepercayaan Publik di Era Post-Truth”, Hendri menegaskan pentingnya transformasi digital bukan hanya untuk efisiensi, tapi juga untuk membangun transparansi dan partisipasi publik—terutama di wilayah kepulauan seperti Kepri yang tantangan geografisnya tidak main-main.
“Digitalisasi pelayanan publik bukan sekadar penerapan teknologi, tetapi sebuah strategi membangun kepercayaan masyarakat. Masyarakat akan percaya jika pemerintah terbuka, responsif, dan cepat dalam memberikan informasi yang akurat,” ujar Hendri.
Kalimat ini terdengar sederhana, tapi punya bobot besar. Sebab, di era post-truth, di mana opini bisa lebih kuat dari data, kecepatan dan keterbukaan jadi tameng pemerintah menghadapi tsunami disinformasi.
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau di bawah kepemimpinan Gubernur Ansar Ahmad disebut terus memperkuat sistem pelayanan digital, salah satunya lewat penguatan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan platform SP4N-Lapor!—sebuah kanal aspirasi publik yang bisa dilihat langsung tindak lanjutnya. Ini bukan hanya alat aduan, tapi jembatan antara pemerintah dan warganya.
Hendri menjelaskan, kunci utama di era pasca-kebenaran bukan hanya klarifikasi, melainkan kredibilitas sistem.
“Kita tidak bisa melawan disinformasi hanya dengan klarifikasi, tapi dengan sistem yang transparan dan terpercaya,” tegasnya.
Kalimat itu terdengar seperti tamparan halus bagi birokrasi yang masih gemar menutup rapat data publik.
Dalam kesempatan itu, Hendri juga menyinggung pentingnya kepemimpinan digital—bukan yang sekadar melek teknologi, tapi juga mampu menavigasi kebenaran di tengah banjir informasi yang sering kali bias.
“Pemimpin di era digital bukan hanya yang mahir menggunakan teknologi, tapi juga yang mampu menavigasi kebenaran di tengah derasnya arus informasi yang sering kali bias,” lanjutnya.
Menurut Hendri, pemimpin digital harus adaptif, berbasis data, kolaboratif lintas sektor, dan tetap memanusiakan proses kerja—karena teknologi tanpa empati hanya akan melahirkan sistem dingin tanpa kepercayaan.
Di akhir sesi, ia mengajak para peserta Sespim untuk tidak melihat digitalisasi sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang menuju pemerintahan yang bersih, terbuka, dan dipercaya masyarakat.
“Digitalisasi itu bukan musuh, tapi alat untuk memperkuat kepercayaan,” begitu kira-kira pesan tersirat dari Hendri.
Kegiatan bertema “Kepemimpinan Digital dihadapkan pada Post Modern dan Post Truth” ini dihadiri oleh sejumlah pejabat daerah dan tokoh masyarakat, termasuk unsur Forkopimda, DPRD Kepri, dan Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri.
Mungkin setelah ini, publik tak hanya menunggu aplikasi baru dari pemerintah, tapi juga bukti bahwa digitalisasi benar-benar membuat mereka lebih dekat dengan pelayanan yang cepat, transparan, dan manusiawi.





