
KUTIPAN – Di Lingga, sembilan bahan pokok bukan sekadar urusan dapur. Ia sudah naik kelas menjadi bahan diskusi birokrasi, surat-menyurat antarpemerintah, bahkan kunjungan bolak-balik ke Bea Cukai. Semua demi satu harapan sederhana, barang bisa masuk dengan harga yang masuk akal.
Sekretaris Daerah Kabupaten Lingga, Armia, tidak menampik bahwa pemerintah daerah sudah melakukan berbagai upaya. Surat sudah dikirim, pemerintah pusat sudah disurati, gubernur sudah diminta perhatian. Bahkan, dalam sepekan terakhir, pemerintah daerah dua kali menyambangi kantor Bea Cukai di Batu Ampar, Batam.
“Kalau untuk sembilan bahan pokok ini, kami dari pemerintah sudah menyoroti ke pemerintah pusat. Sudah menyurati Gubernur. Minggu kemarin kami dua kali ke Bea Cukai di Batu Ampar,” kata Armia kepada wartawan, Senin (15/12/2025).
Namun, jawaban yang diterima tetap sama. Aturan adalah aturan. Barang yang keluar dari Batam, yang berstatus Free Trade Zone (FTZ) menuju daerah seperti Lingga, Bintan, dan Tanjungpinang, tetap diperlakukan sebagai barang kena pajak.
Di titik inilah masalah bermula. Barang yang secara geografis dekat, justru terasa jauh secara administrasi.
“Bea Cukai memang sudah menyampaikan ini aturan. Jadi sebenarnya kalau mau aman, FTZ ini memang harus dihapuskan,” ujar Armia, lugas.
Ia menegaskan, kelangkaan sembako bukan hanya dirasakan masyarakat Lingga. Daerah lain di Kepulauan Riau pun menghadapi situasi serupa. Bukan karena produksi kurang, melainkan karena jalur distribusi yang tersendat oleh beban pajak dan administrasi.
Masalahnya tak berhenti di pajak. Ada pula biaya tambahan berupa pengurusan dokumen, salah satunya formulir C1. Biayanya, menurut Armia, tidak kecil.

“Hari ini ada pula formulir C1 yang harus disiapkan. Kalau tidak salah Rp5 juta sampai Rp7 juta juga biayanya. Jadi barang dari Batam masuk ke Lingga ini pajaknya harus sekian,” jelasnya.
Dalam situasi seperti ini, pedagang tentu berpikir dua kali. Biaya naik, risiko tinggi, sementara daya beli masyarakat tidak selalu bisa diajak kompromi.
Soal solusi, pemerintah daerah mengakui kewenangan mereka terbatas. Persoalan FTZ dan kebijakan fiskal bukan ranah kabupaten. Karena itu, Armia berharap pemerintah provinsi dan para wakil rakyat Kepulauan Riau di tingkat pusat bisa turun tangan.
“Ini yang bisa menyelesaikan Pak Gubernur atau Dewan Perwakilan kita dari Kepri di pusat. Ini sudah kami sampaikan melalui surat,” katanya.
Sementara itu, kebutuhan sembako Lingga hari ini sebagian besar bergantung pada pasokan dari Jambi. Pilihan yang terpaksa diambil, meski bukan tanpa konsekuensi.
“Kalau dari Jambi, masuk barangnya agak tinggi. Masuknya juga seminggu sekali karena faktor cuaca,” ujar Armia.
Di tengah cuaca yang sulit ditebak dan aturan yang sulit dilonggarkan, masyarakat Lingga hanya bisa berharap satu hal, sembako tidak terus menjadi barang langka hanya karena kebijakan yang terasa terlalu jauh dari realitas pulau-pulau kecil.





