
KUTIPAN – Kalau biasanya ngomongin penjara langsung kepikiran soal jeruji, jumpsuit oranye, dan film thriller kriminal, IPPAFest 2025 hadir buat bikin perspektif itu jungkir balik. Festival ini bukan soal pelarian atau investigasi. Tapi lebih mirip acara seni dan UMKM, cuma tempat produksinya… ya, dari balik jeruji.
Festival ini bukan festival biasa. Digelar 21–23 April 2025 di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, IPPAFest alias Indonesian Prison Products and Art Festival ini kayak Comic Con-nya para warga binaan. Bedanya, yang dipajang bukan cosplay atau koleksi poster anime, tapi hasil karya para penghuni Lapas dari Sabang sampai Merauke—mulai dari kerajinan tangan, fesyen, makanan, sampai pertunjukan seni.
Bayangin, dari ruang tahanan yang biasanya dianggap sunyi dan kelabu, muncul kreasi yang bikin haru. Dari kursi rotan sampai camilan renyah yang bisa bikin laper mata. Kayak dapur kecil yang mendidih pelan-pelan, ternyata di dalam Lapas tuh ada kreativitas yang terus direbus.
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), Agus Andrianto, menegaskan bahwa IPPAFest ini bukan cuma panggung pameran, tapi panggung harapan. “IPPAFest ini bukan hanya soal pertunjukan atau pameran produk, tapi tentang harapan, kesempatan kedua, dan kemanusiaan,” kata beliau. Sebuah narasi yang lebih menyentuh dibanding sinetron azab jam 10 malam.
Buat yang masih berpikir kalau warga binaan itu ya “nggak ada harapan”, mungkin perlu dateng langsung. Soalnya selama tiga hari, masyarakat bisa lihat sendiri gimana warga binaan dibina jadi lebih dari sekadar nomor register. Mereka bisa bikin kerajinan, masak makanan enak, bahkan tampil di panggung. Dan ya, semuanya real, bukan acting demi remisi.

Salah satu highlight yang bakal bikin orang makin terperangah adalah kehadiran Zivilia Band. Iya, Zivilia, yang vokalisnya sekarang masih berada di Lapas Khusus Kelas IIA Gunung Sindur. Mereka bakal launching lagu baru berjudul “Jangan Kamu, Biar Aku”—kolaborasi dengan Gita Youbi. Lagu ini bukan cuma enak didengar, tapi juga jadi bukti bahwa kreativitas enggak kenal tembok.
Lagu tersebut diproduksi di dalam Lapas, kerja sama dengan label rekaman Kartamakala. Cuma di Indonesia ada band yang albumnya lahir dari ruang tahanan tapi tetap bisa bersaing dengan yang ngeluarin single dari studio mahal. Ini kalau dibikin film, rating IMDb bisa 9,1.
Menteri Agus juga ngajak semua lapisan masyarakat buat datang dan meramaikan acara ini. Dari anak muda, pegiat sosial, sampai pelaku industri kreatif. Bahkan, festival ini dibuka seluas-luasnya buat kolaborasi. “Banyak dari mereka yang punya talenta luar biasa,” tambahnya. Yah, siapa tahu bisa nemu desainer sepatu handmade dari Lapas yang kualitasnya ngalahin produk hypebeast.
Dan yang paling penting, IPPAFest ini juga jadi reminder bahwa manusia itu bukan hasil akhir dari satu kesalahan. Bahwa di balik seragam napi, masih ada otak yang berpikir dan tangan yang bisa berkarya. Terkadang, kreativitas justru lahir dari keterbatasan, kayak pas anak kos bisa masak mie pakai setrika.
Jadi, daripada terus menstigma warga binaan sebagai “orang gagal”, mungkin saatnya ngelihat mereka sebagai manusia yang lagi belajar jadi lebih baik. IPPAFest kayak undangan terbuka buat siapa aja yang mau percaya bahwa orang bisa berubah, asal dikasih ruang dan dukungan.
Kalau biasanya acara festival isinya stiker lucu dan photo booth buat konten IG, IPPAFest ngasih yang lebih mahal: pelajaran soal kemanusiaan, kesempatan kedua, dan harapan.
Datang, lihat, dan mungkin—setelah nonton pertunjukan seni dari mereka yang sempat tersesat—bisa pulang dengan pemikiran: “Eh, ternyata yang di luar tembok juga kadang lebih jahat.”
Tulisan ini masuk dalam rubrik Suara/Kabar Kutipan, kiriman laporan wartawan/rilis yang telah dipoles dengan gaya media Kutipan. Kalau mau kirim tulisan juga, silakan kirim ke: penuliskutipandotco@gmail.com