
Saya tuh nggak ngerti lagi sama dunia. Kadang yang punya ide, malah nggak punya nama. Yang ngasih nama, malah nggak punya hak. Yang nggak ada dari awal, eh malah yang mematenkan. Ini bukan sinetron Indosiar, ini kenyataan: drama kepemilikan nama band KotaK yang lebih panas dari setrika kos-kosan.
Kita ngomongin soal band rock, ya. Bukan gerobak siomay. Band yang dari dulu udah identik dengan warna musik cadas, panggung penuh energi, dan huruf “K” yang entah kenapa dua biji. KotaK. Dengan huruf kapital semua, seolah-olah sedang berteriak ke dunia, “LIHAT KAMI!” Tapi sekarang malah terdengar kayak “LIHAT DRAMA KAMI!”
Gini ya, menurut kabar dari jagat hiburan Tanah Air yang lebih riuh dari arisan RT, nama “KotaK” ternyata udah dipatenkan ke HAKI oleh formasi terakhir: Cella, Chua, dan Tantri. Sedangkan para pendiri aslinya: Posan Tobing, Pare, dan Icez—yang dulu bareng-bareng ikut Dream Band kayak anak-anak Naruto ikut ujian Chunin—malah nggak tahu apa-apa.
Analoginya nih: lu ngebangun rumah bareng temen, nyumbang bata, semen, sampai jendela. Tapi tiba-tiba ada satu orang dari kelompok yang ngurus surat sertifikat sendiri, terus bilang, “Ini rumah gue.” YHA.
Masalahnya bukan cuma soal legalitas, tapi juga soal etika. Dalam dunia musik, mungkin nggak ada peraturan tak tertulis yang bilang “jangan lupain teman seperjuangan,” tapi kayaknya semesta tahu itu. Dan sekarang, ketika para pendiri merasa dikotakkan secara emosional, kok ya malah dibilang, “Kami adalah KotaK.”
Ealah, Mas Cella, mbok ya jangan gitu. Tanya dulu tuh sama hati kecil. Kalau perlu, tanya juga sama hati besar dan ginjal kanan. Karena yang merasa tersisih ini bukan haters, tapi teman seperjuangan. Bahkan si Pare bilang dia yang nyebut nama KotaK pertama kali. Kalau itu bener, berarti kita ini sedang menyaksikan live action rebutan hak cipta dari ide ngide anak tongkrongan.
Tapi, kita juga nggak bisa asal nuding. Dunia musik itu kejam, Bung. Di balik panggung megah dan spotlight, ada tumpukan surat legal, kontrak manajer, dan HAKI yang nggak lucu sama sekali. Namanya juga industri. Kalau nggak mainin gitar, ya mainin strategi hukum.
Yang lucu, pematenan nama ini udah dari 2014. Tapi baru ribut 2025. Ibarat mantan yang baru update status nikah setelah bertahun-tahun ghosting, rasanya tuh campur aduk. Mending kalau ngabarin, ini nggak. Tau-tau udah sah.
Saya sendiri bukan pengacara, cuma penikmat musik yang masih suka dengerin “Beraksi” sambil nyapu. Tapi yang jelas, ini bukan cuma soal siapa yang punya hak paten, tapi juga siapa yang masih punya nurani. Apalagi ini musik, Bung. Musik itu soal rasa, bukan cuma soal dokumen bersegel.
Dan jujur aja, saya pribadi udah capek lihat band bagus bubar bukan karena nggak laku, tapi karena egonya lebih nendang dari bass drum. Hari gini, kita butuh kolaborasi, bukan kompetisi. Kalau bisa manggung bareng dan nostalgia, kenapa malah adu argumen soal siapa yang paling KotaK?
Tapi ya sudahlah. Seperti kata pepatah modern: “Kalau semua orang pengen diakui, siapa yang mau mengakui orang lain?” Mungkin jawaban pertanyaannya ada di hati masing-masing—kalau belum dipatenkan juga.
Penulis: Dimas Nugroho Koleksi kaos band lawas, tapi belum pernah nonton konser satupun.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan kiriman dari penulis atau pembaca Kutipan. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Kutipan telah menyunting seperlunya agar sesuai dengan gaya khas media.