
KUTIPAN – Apa yang terjadi ketika warga datang mengadu ke pemerintah soal lahan yang katanya “akan dikembangkan”? Ya, kadang harapannya solusi, tapi yang datang malah SP1 sampai SP3. Begitulah kiranya situasi yang terjadi di Batam.
Kepala BP Batam, Amsakar Achmad, bersama Wakilnya, Li Claudia Chandra, menyambut audiensi warga yang terdampak penertiban lahan di Tanjung Banon. Pertemuan berlangsung di Kantor Wali Kota Batam, bukan di bawah pohon atau di balai kampung, tapi ya tetap terasa hangat—meski bukan karena teh manis, melainkan karena isu yang dibahas: transmigrasi lokal.
Pertemuan ini disebut sebagai bagian dari upaya strategis untuk mendengar langsung jeritan warga. Tapi tentu saja, di balik kalimat manis itu, ada narasi yang membuat dahi berkerut.
“SP 1 sampai SP 3 sudah kita terbitkan. Artinya, ketentuan normatif sudah dilalui,” kata Amsakar, Senin (5/5/2025).
Kalau kamu sempat bingung, SP itu adalah Surat Peringatan. Jadi, warga yang tinggal di tanah itu sudah dapat peringatan resmi sebanyak tiga kali. Dalam dunia peradministrasian pemerintah, itu artinya: “Maaf, waktumu hampir habis.”
Tapi jangan buru-buru ngegas. Amsakar juga menyampaikan apresiasi kepada warga yang masih mau datang dan menyampaikan langsung situasi di lapangan. Katanya, ini bagian dari menyusun langkah strategis pengembangan Rempang.
“BP Batam bersama Pemerintah Kota Batam berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan ini. Kami tidak ingin ada warga yang merasa dirugikan, dan saat ini kami tengah mencari formula terbaik untuk mengatasi dinamika yang ada,” tambahnya.
Pemerintah, melalui BP Batam, mengaku membuka ruang dialog seluas-luasnya. Katanya, komunikasi adalah kunci. Kalau perlu pembahasan lebih lanjut, warga dipersilakan untuk bicara.
“Kami membuka ruang dialog seluas-luasnya. Apabila diperlukan pembahasan lebih lanjut, kami siap berkomunikasi dengan masyarakat,” pungkas Amsakar.
Laporan: Yuyun Laporan ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan.