
KUTIPAN – Direktur PT. Multi Coco Indonesia, Ady Indra Pawennari, membantah keras pemberitaan yang menyebutkan dirinya terlibat dalam kasus penipuan terkait proyek pematangan lahan di Kawasan Kijang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau (Kepri). Dalam klarifikasinya, Ady justru mengungkapkan bahwa ia adalah korban penipuan dalam kasus tersebut.
“Berita tentang saya yang menyebutkan saya terlibat penipuan sangat merugikan dan mencederai reputasi yang telah saya bangun selama bertahun-tahun. Saya sudah berdiskusi dengan kuasa hukum untuk melaporkan hal ini ke Dewan Pers,” tegas Ady di kantor hukum AR 555 & Co di Batam, Senin (3/3/2025).
Ady juga menyayangkan adanya kaitan antara kasus penipuan yang menimpanya dengan jabatannya sebagai Ketua Umum Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI) dan Bendahara Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Kepri. Menurutnya, jabatan tersebut tidak ada kaitannya dengan kasus yang terjadi pada 2020 ini.
“Ini adalah kasus lama dari 2020, sedangkan saya baru menjabat Ketua Umum HIPKI dan Bendahara PWI Kepri pada 2022-2023, jadi tidak ada hubungan sama sekali,” kata Ady yang juga menjabat Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Provinsi Kepri.
Ady kemudian menceritakan kronologi peristiwa yang membuatnya terlibat dalam masalah ini. Pada Juni 2020, Ady diminta oleh temannya, TML, seorang pengusaha Jakarta, untuk membantu mencari kontraktor untuk pekerjaan penimbunan lahan seluas 66,3 hektar di Desa Gunung Kijang, Kabupaten Bintan. TML menunjukkan dokumen yang mengonfirmasi lahan tersebut sebagai lokasi pembangunan proyek pemerintah bernilai triliunan rupiah. Namun, sebagian besar lahan tersebut merupakan rawa-rawa dan membutuhkan penimbunan.
Setelah itu, Ady menghubungi temannya, GSS, perwakilan PT. RHP di Tanjungpinang, yang memiliki pengalaman dalam pekerjaan serupa. Mereka melakukan survei dan GSS mengajukan penawaran harga yang kemudian disetujui oleh TML. Namun, saat pembayaran dijanjikan setelah pekerjaan selesai, TML meminta agar Ady menerbitkan cek mundur untuk jaminan.
“Tak lama kemudian, GSS mengajukan penawaran harga dan TML menyetujui dengan catatan pembayaran dilakukan setelah pekerjaan selesai. Namun, GSS meminta jaminan berupa cek mundur 3 bulan. Di sinilah awal masalahnya. TML mengaku tak punya cek dan minta bantu saya terbitkan cek mundur selama 3 bulan,” jelas Ady.
Tanpa banyak pertimbangan, Ady menerbitkan 2 lembar cek mundur selama 3 bulan milik perusahaannya PT. Multi Coco Indonesia senilai Rp1.886.475.000. Pada saat pekerjaan selesai dan cek mendekati jatuh tempo, Ady memberi tahu TML agar segera menyetorkan dananya ke rekening PT. Multi Coco Indonesia. Namun, hingga cek jatuh tempo, TML tidak juga menyetorkan dananya.
Setelah cek gagal dicairkan, TML kembali meminta Ady membantunya negosiasi perpanjangan waktu pembayaran selama 3 bulan dengan owner PT. RHP, SS. Untuk perpanjangan waktu tersebut, SS menyetujui dengan memperhitungkan bunga bank sebesar Rp584.500.000.
“Jadi total kerugian yang diklaim RHP menjadi Rp2.470.975.000, sudah termasuk bunga bank,” kata Ady.
Namun, lagi-lagi janji TML untuk melakukan pembayaran tak dipenuhi. Ady pun sudah diliputi rasa cemas karena Ia tidak memiliki perjanjian tertulis tentang penggunaan cek PT. Multi Coco Indonesia oleh TML.
“Karena prosesnya sudah berlarut-larut, saya menyarankan PT. RHP membuat somasi, meski saya tahu ada konsekuensi hukum jika somasi tak diindahkan. Karena cek yang digunakan adalah cek milik perusahaan saya, maka secara hukum saya yang dituntut bertanggungjawab. Tapi, jujur batin saya tak terima karena posisi saya bukan penerima manfaat dan bukan pemilik lahan,” beber Ady.
Pria peraih anugerah Pahlawan Inovasi Teknologi Tahun 2015 itu, mengaku bukan tak mampu membayar kerugian Rp1,8 M itu, tapi persoalannya bukan dia yang menggunakan cek itu. Selanjutnya, Ady pasrah ditahan dan menyiapkan diri menghadapinya di pengadilan.
“Alhamdulillah, setelah saya ditahan beberapa hari, TML tergerak hatinya untuk membayar kerugian yang dialami oleh PT. RHP dan PT. RHP mencabut laporannya di Polda Kepri, serta menandatangani perjanjian damai. Jadi, sekali lagi saya tegaskan, saya ini justru korban penipuan. Saya tak menyesal dan dendam karena ditahan, tapi saya bersyukur Tuhan memberi jalan keluar melalui penahanan ini,” kata Ady dengan mata berkaca-kaca.
Direktur Utama PT. RHP, MHS membenarkan pihaknya sudah mencabut laporannya di Polda Kepri dan sudah berdamai dengan Direktur PT. Multi Coco Indonesia, Ady Indra Pawennari.
“Apa yang disampaikan pak Ady itu semuanya benar dan kebetulan owner kami adalah sahabat baiknya pak Ady juga. Sejak awal, kami tak pernah berpikiran untuk memenjarakan orang. Malah, pak Ady sendiri yang meminta disomasi dan berujung pada laporan polisi. Syukurnya, setelah pak Ady ditahan, TML melaksanakan kewajibannya,” katanya.
Baik Ady maupun MHS mengaku sudah sepakat berdamai dan menyampaikan terima kasih kepada Kapolda Kepri, Irjen Pol Asep Syafrudin, Dirreskrimum, Kombes Pol Ade Mulyana dan Kasubdit I Ditreskrimum, AKBP Arthur Sitindaon atas penyelesaian hukum yang berikan melalui restorative justice.
“Jadi, terhitung sejak tanggal 27 Maret 2025, kami sepakat berdamai dan permasalahan diantara kami sudah selesai. Terima kasih kepada pak Kapolda Kepri dan jajaran yang telah memberi ruang penyelesaian perkara melalui restorative justice atau keadilan restoratif,” tutup Ady.(***)