
KUTIPAN – Di tengah riuh-rendahnya perairan perbatasan Indonesia–Malaysia, empat nelayan asal Batam akhirnya bisa kembali menghirup angin rumah sendiri. Mereka sebelumnya sempat diamankan APMM semacam “Satpol PP-nya” laut Malaysia bukan karena aksi kriminal kelas berat, melainkan gara-gara perahu mereka kelewatan batas zonasi. Sebuah drama klasik di lautan, ketika ketiadaan GPS membuat jalur pulang lebih mengikuti feeling ketimbang koordinat.
Pemulangan mereka tak dilakukan sembarangan. Ada koordinasi resmi yang cukup rapi antara Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM), Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru, dan Bakamla RI. Serah terima dilakukan di perairan perbatasan pada Kamis (13/11/2025), sebuah lokasi yang biasanya sepi tapi mendadak jadi titik jumpa tiga institusi sekaligus.
Dari pihak Indonesia, proses penerimaan diwakili oleh Kolonel Bakamla Yudi Priyatno, S.E., yang hadir menggantikan Kepala Zona Bakamla Barat Laksamana Pertama Bakamla Bambang Trijanto. Kapal yang dipilih untuk misi repatriasi ini bukan kapal kecil-kecilan, melainkan KN. Pulau Nipah–321 nama yang mungkin tidak asing bagi para penggiat isu kemaritiman.
Keempat nelayan itu berinisial AT (57), GA (26), MT (37), dan MR (34). Mereka ditangkap APMM pada 7 Oktober 2025 saat berlayar dari Tanjung Uma, Batam menuju Pulau Bintan untuk berjualan sembako ke kapal-kapal yang berlabuh.
Aktivitas yang sederhana, tapi perjalanan yang tidak sederhana. Tanpa perangkat navigasi modern, perahu bermesin diesel yang mereka gunakan melenceng beberapa derajat dan akhirnya masuk ke perairan Tanjung Kelesa, Johor wilayah yang jelas berada di bawah jurisdiksi Malaysia.
Mengetahui warganya tertahan, KJRI Johor Bahru mengajukan permohonan resmi agar mereka dipulangkan. Prosesnya tidak instan surat permohonan masuk pada 21 Oktober 2025, sementara lampu hijau dari APMM baru diterima pada 7 November 2025. Selama menunggu, keempat nelayan itu ditempatkan di Tempat Tinggal Sementara (TTS) KJRI.
Begitu semua berkas rampung, Bakamla RI dan APMM bertemu di titik rendezvous (RV) di laut. Tidak ada adegan dramatis, tidak ada sirene atau manuver ekstrem. Prosesnya berjalan mulus berkat komunikasi yang solid antarinstansi.
Dalam keterangannya, Kolonel Bakamla Yudi Priyatno mengapresiasi sinergi yang terbangun.
“Pemulangan nelayan ini menjadi bukti nyata sinergi yang kuat antara Bakamla RI, APMM, dan KJRI Johor Bahru. Kami berkomitmen untuk terus memperkuat kerja sama lintas batas dalam menjaga keamanan laut serta memastikan perlindungan terhadap nelayan dan masyarakat maritim Indonesia,” ujarnya.
Bagi Bakamla RI, kegiatan ini bukan sekadar ritus administratif. Ia menjadi bagian dari diplomasi kemaritiman, sebuah kerja sunyi yang bukan hanya menjaga laut tetap bersih dari ancaman, tetapi juga memastikan manusia yang menggantungkan hidup pada lautan tidak terabaikan.





