
KUTIPAN – Persoalan penggunaan material ilegal dalam berbagai proyek pembangunan di Kabupaten Natuna semakin menjadi sorotan. Pasir, batu pecah, kerikil hingga tanah urug yang dipakai untuk membangun jalan, jembatan, maupun gedung pemerintahan diduga sebagian besar berasal dari sumber yang tidak memiliki izin resmi.
Praktik ini tidak hanya menyalahi aturan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius terkait tata kelola pembangunan serta potensi kerusakan lingkungan.
Kepala Dinas Perizinan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Natuna, Ahmad Sopian, memastikan hanya ada satu perusahaan yang memiliki izin resmi. Namun hingga kini perusahaan tersebut belum ada menyuplai material berupa tanah urug.
“Saat ini baru PT Berkah Tambang Sejahtera Natuna yang memiliki izin. Terbit izinnya pada awal 2022 yang lalu,” ujarnya.
Ironisnya, meski material tidak resmi, pemerintah daerah tetap melakukan pungutan pajak MBLB dari proyek-proyek yang berjalan. Dana ini masuk ke kas daerah sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Natuna, Boy Wijanarko, memberikan penegasan. Ia menyebut, pemerintah daerah ke depan akan tetap berpedoman pada aturan yang berlaku.
“Harus sesuai regulasi yang ada,” ujarnya singkat saat ditanya mengenai solusi persoalan material ilegal untuk pembangunan di Natuna.
Pernyataan itu memberi sinyal bahwa Pemkab Natuna tidak akan menoleransi praktik pengadaan material yang tidak sah.
Penggunaan material dari tambang ilegal memiliki dampak lingkungan yang serius. Penambangan pasir, kerikil, maupun batu tanpa perencanaan berpotensi merusak bukit, memicu longsor, banjir, serta mengganggu ekosistem air tanah. Dalam jangka panjang, kerugian ekologis ini dapat lebih besar daripada manfaat ekonomi sesaat.
Secara hukum, praktik ini juga berisiko tinggi. Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, aktivitas penambangan tanpa izin termasuk tindak pidana dengan ancaman penjara hingga 5 tahun dan denda mencapai Rp100 miliar.
Kontraktor yang terbukti menggunakan material ilegal bisa dikenakan sanksi, mulai dari pemutusan kontrak, masuk daftar hitam dalam tender, hingga jerat pidana jika terbukti mengetahui asal material yang tidak sah.
Sementara itu, pemerintah daerah yang tetap memungut pajak dari material ilegal juga berpotensi bermasalah. Pungutan tersebut dapat dipersoalkan secara hukum dan dianggap sebagai bentuk pembiaran praktik tambang ilegal.
Sebagai jalan keluar, regulasi membuka peluang melalui Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Skema ini memungkinkan masyarakat tetap bisa bekerja menambang dalam skala kecil, namun secara resmi diakui negara.
IPR sendiri hanya diterbitkan oleh pemerintah provinsi dan relatif lebih sederhana dibanding izin usaha pertambangan skala besar. Dengan adanya IPR, masyarakat tetap mendapat penghasilan, kontraktor memperoleh material yang legal, sementara pemerintah daerah bisa menarik pajak tanpa risiko hukum.
Kasus penggunaan material ilegal di Natuna menjadi pengingat bahwa pembangunan tidak bisa dilepaskan dari aturan dan tanggung jawab lingkungan. Di satu sisi, kebutuhan akan infrastruktur memang mendesak, namun di sisi lain, tata kelola sumber daya alam tidak boleh diabaikan.
Dengan menegakkan regulasi dan membuka ruang bagi izin pertambangan rakyat, pemerintah daerah memiliki kesempatan untuk menghadirkan solusi yang adil. Masyarakat tetap bisa mencari nafkah, kontraktor mendapatkan kepastian hukum, dan pembangunan berjalan tanpa merusak alam.
Pembangunan yang berkelanjutan hanya bisa terwujud bila setiap pihak pemerintah, kontraktor, maupun masyarakat berjalan sesuai aturan.
“Kuncinya sederhana, harus sesuai regulasi yang ada.” pungkas Boy. (Zal).