
KUTIPAN – Batam kembali dikejutkan oleh kabar yang bikin hati miris: dugaan penganiayaan terhadap asisten rumah tangga (ART) asal Sumba. Dalam relasi kerja yang seharusnya dihiasi rasa hormat dan kemanusiaan, malah terjadi tindakan kekerasan yang melukai lebih dari sekadar fisik.
Suara keras datang dari Anwar Anas, anggota DPRD Kota Batam dari Fraksi Gerindra, yang langsung angkat bicara soal kasus ini. Buat dia, ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga penghianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
“Negara ini berdiri di atas dasar kemanusiaan dan keadilan. Siapa pun yang dengan sengaja menyakiti orang lain, apalagi yang berada dalam posisi rentan seperti ART, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum,” ujar Anwar.
Kata-kata itu bukan basa-basi. Sebab yang dialami korban, perempuan muda dari Sumba, bukan cuma luka fisik. Tapi juga trauma yang membekas di hati. Bayangkan, datang ke Batam dengan niat bekerja halal, malah diperlakukan seolah bukan manusia.
“Korban adalah perempuan muda dari Sumba yang datang ke Batam dengan harapan bekerja secara halal. Ia bukan hanya disakiti secara fisik, tapi juga diperlakukan di luar batas kemanusiaan,” tegas Anwar lagi.
Yang bikin geram, relasi kuasa dan ekonomi kerap jadi dalih diam-diam yang membenarkan perlakuan buruk. Padahal, justru di sanalah hukum harus hadir: sebagai pelindung bagi yang lemah, bukan sebagai alat yang hanya tajam ke bawah.
Anwar, yang juga Sekretaris Komisi I DPRD Batam, mendesak Kapolresta Barelang dan jajaran aparat untuk segera ambil sikap tegas.
“Saya meminta Kapolresta Barelang dan jajaran penegak hukum untuk memastikan pelaku mendapat proses hukum yang adil dan setimpal. Hukum tidak boleh tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hukum harus berpihak pada kebenaran dan korban,” katanya dengan nada serius.
Pernyataan ini penting di tengah banyaknya kasus serupa yang kadang hilang begitu saja di tengah jalan karena tekanan, kekuasaan, atau alasan klise lainnya. Padahal, keadilan tidak boleh ditawar. Apalagi untuk mereka yang rentan dan minim perlindungan.
Tapi urusan ini nggak bisa diserahkan ke polisi doang. Masyarakat juga harus pasang empati. Karena pekerja rumah tangga bukan sekadar “pembantu”, tapi bagian dari ritme hidup kita sehari-hari. Mereka berhak atas martabat dan perlindungan, bukan malah jadi korban eksploitasi.
“Peristiwa ini harus menjadi cambuk moral bagi kita semua. Pekerja rumah tangga adalah bagian dari kehidupan kita. Mereka tidak datang untuk disakiti, tapi untuk bekerja,” tutup Anwar.
Dan benar juga. Kalau negara dan masyarakat sama-sama tutup mata, maka kekerasan akan terus terjadi, berganti wajah dan korban. Maka sekarang saatnya semua buka mata. Karena yang disakiti kali ini bukan cuma satu perempuan dari Sumba. Tapi juga nurani kita sebagai manusia.
Laporan: Yuyun Editor: Fikri Artikel ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan, tanpa mengurangi substansi informasi.
Untuk informasi beragam lainnya ikuti kami di medsos:
https://www.facebook.com/linggapikiranrakyat/
https://www.facebook.com/kutipan.dotco/