
KUTIPAN– Ada kalanya berita bukan cuma soal pelaku dan korban. Ada konteks yang lebih dalam, lebih kompleks—dan sayangnya, lebih sering diabaikan. Seperti kasus dugaan asusila yang baru-baru ini menyeret seorang remaja perempuan asal Leuwisari, Tasikmalaya, yang disebut-sebut menjadi korban tindak asusila oleh seorang pria dari Nantang, Kecamatan Cigalontang.
Pelaku sudah diamankan oleh Polres Tasikmalaya, Selasa (6/6/2025). Tapi kisahnya tidak berhenti di sana. Di balik kejadian ini, terselip persoalan besar yang pelan-pelan mulai menganga: soal kenakalan remaja yang makin rumit bentuknya, dan tanggung jawab orang tua yang seolah masih gamang menghadapi zaman.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya, Ato Rinanto, buka suara soal kasus ini. Melalui pesan WhatsApp kepada tim Kutipan.co, Kamis (8/6/2025), Ato menyampaikan keprihatinannya sekaligus menegaskan komitmen lembaganya.
“Terkait dengan peristiwa yang memang hari ini terjadi padahal tersebut tentu KPAI merasa prihatin dengan peristiwa yang terjadi pada Ananda yang berusia 15 tahun ini. Kemudian yang kedua, KPAI tentu akan secara konsen dan sungguh-sungguh memberikan perhatian dengan kasus ini, baik dari sisi pendampingan hukumnya, kondisi sosial masyarakatnya walaupun kondisi psikologisnya kami akan terus dampingi.”
Bunga (bukan nama sebenarnya), menjadi bagian dari statistik kelam yang sedang tumbuh di Tasikmalaya. Ato menegaskan bahwa KPAID tidak akan lepas tangan. Pendampingan hukum dan psikologis akan diberikan penuh, tapi ada yang tak kalah penting: edukasi publik, terutama kepada orang tua.
Menurutnya, zaman sudah berubah. Kenakalan remaja bukan hanya tawuran, bolos, atau mabuk-mabukan.
“Kenakalan remaja bukan saja hanya kenakalan fisik, bukan saja hanya kenakalan dalam bentuk digital, bukan saja kenakalan dalam bentuk narkoba ataupun jenis-jenis kenakalan yang lainnya, tetapi kenakalan seks atau free seks atau seks bebas ini saya fikir harus dipahami oleh para orang tua”, jelas Ato.
Pernyataan ini bukan untuk menghakimi remaja. Tapi jadi pengingat, bahwa dunia anak-anak hari ini jauh lebih kompleks dibanding satu dekade lalu. Seks bebas bukan cuma cerita sinetron atau berita kriminal. Ia bisa terjadi di lingkungan sebelah rumah, bahkan di dalam rumah sendiri.
Lebih jauh, Ato menyebutkan bahwa angka kekerasan seksual terhadap anak di Tasikmalaya mengalami peningkatan signifikan. Dan bukan cuma anak sebagai korban, tapi juga sebagai pelaku. Ini jadi peringatan keras untuk semua pihak, terutama orang tua.
“Beberapa kasus yang ada di Kabupaten Tasikmalaya hari ini kekerasan seksual yang terjadi pada anak baik anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku, cukup meningkat secara signifikan, tentu kami berharap dan menghimbau kepada para orang tua khususnya yang merupakan ujung dari benteng pertahanan bangsa ini untuk bisa lebih efektif di dalam melakukan pengawasan perlindungan kepada anak-anaknya”, tegasnya.
Pertanyaannya: kalau anak-anak bisa jadi korban dan pelaku sekaligus, lalu di mana sebetulnya orang dewasa berdiri? Masyarakat sering terlalu cepat menyalahkan media sosial, internet, atau pergaulan. Tapi lupa bahwa rumah adalah benteng pertama, dan benteng itu sering kali keropos tanpa disadari.
Kasus ini seharusnya jadi momen refleksi, bukan hanya histeria sesaat. Karena pada akhirnya, urusan anak bukan cuma urusan polisi atau lembaga perlindungan. Tapi urusan semua orang dewasa yang memilih diam ketika batas-batas moral mulai kabur.
Laporan: Chandra Editor: Fikri Laporan ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan.